TENTANG PUASA SYAWAL ENAM HARI

Posted On // Leave a Comment
TENTANG PUASA SYAWAL ENAM HARI

بسم الله الرحمن الرحيم

Saudara-saudara sekalian, puasa adalah ibadah yang sangat agung. Puasa merupakan salah satu dari sekian banyak amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Setelah menyelesaikan puasa Ramadan selama satu bulan penuh, seorang muslim tentu merasakan kekurangan dalam amalannya. Oleh karena itu, ia akan berupaya menutupi amalannya dengan ibadah-ibadah sunah.

Berikut ini akan kami sajikan di hadapan para pembaca sekalian beberapa pembahasan yang berkaitan dengan puasa Syawal yang dikerjakan sebanyak enam hari. Semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua.

 KEUTAMAAN PUASA SYAWAL

Tentang keutamaan puasa Syawal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

من صام رمضان ثمّ أتبعه ستاّ من شوّال كان كصيام الدّهر

“Barang siapa yang berpuasa Ramadan kemudian mengiringinya dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal, maka seakan-akan dia telah berpuasa setahun penuh lamanya” (Muslim, no.1.984 dari sahabat Abu Ayyub al-Anshari).

Demikian pula hadis dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

من صام ستة أيام بعد الفطر كان تمام السنة (من جاء بالحسنة فله عشر أمثالها)

“Barang siapa berpuasa enam hari setelah Idulfitri, maka (pahala) puasanya menjadi sempurna satu tahun (barang siapa melakukan amal yang baik, baginya [pahala] sepuluh kali lipat)”
(Ibnu Majah; disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, no. 1.402).

Mengapa dikatakan pahala puasanya seperti puasa setahun penuh? Imam al-Nawawi rahimahullah menjelaskan,

وإنما كان ذلك كصيام الدهر لأن الحسنة بعشر أمثالها فرمضان بعشرة أشهر والستة بشهرين

“Hanya saja hal tersebut dikatakan seperti puasa setahun penuh karena kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Sebab itu, hitungan puasa Ramadan menjadi sepuluh bulan ditambah dengan Syawal dua bulan, maka genaplah satu tahun”
(Syarh Shahih Muslim, Jilid 8, hlm. 56).

Dengan kata lain, sehari puasa Ramadan dihitung sepuluh hari, maka tiga puluh hari dihitung tiga ratus hari yang sama dengan sepuluh bulan. Sementara itu, puasa Syawal enam hari menjadi enam puluh, maka genaplah 360 hari atau setahun penuh. Namun, seorang muslim bisa saja mendapatkan pahala yang lebih tergantung keutamaan Allah kepada setiap hamba.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana diriwayatkan dari  Rabb-nya  tabaraka wa ta’ala,

إِنَّ الله كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ؛ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمائَةِ ضِعْفٍ إِلىَ أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ

“Sesungguhnya Allah menetapkan adanya kebaikan dan kejelekan, kemudian Dia menjelaskannya. Barang siapa yang berniat untuk mengerjakan amal kebaikan dan belum terlaksana, Allah akan catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Kemudian jika dia berniat untuk kebaikan dan mengerjakannya, Allah akan catat baginya dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan sampai berlipat–lipat banyaknya” (Al-Bukhari, no. 6.491 dan Muslim no. 131).

Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

 الله عز وجل بفضله ورحمته جعل الجزاء في الحسنات أكثر من العمل، الحسنة بعشر أمثالها إلى سبعمائةضعف إلى أضعاف كثيرة

“Allah ‘azza wa jalla, berkat keutamaan dan rahmat-Nya, menjadikan balasan kebaikan-kebaikan itu lebih banyak daripada amalannya. Kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat atau bahkan sampai berkali-kali lipat” (Fath Dzi al-Jalali wa al-Ikram, Jilid 1, hlm. 192).

 HUKUM PUASA SYAWAL

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum puasa Syawal. Namun, pendapat yang benar hukumnya adalah sunah sesuai dengan penjelasan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah lalu. Inilah pendapat jumhur ulama. Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan,

صوم ستة أيام من شوال مستحب عند كثير من أهل العلم. روي ذلك عن كعب الأحبار، والشعبي، وميمون بن مهران وبه قال الشافعي

“Puasa Syawal sebanyak enam hari hukumnya sunah menurut jumhur ulama. Yang demikian itu diriwayatkan dari Ka‘ab al-Ahbar, al-Sya‘bi, dan Maimun bin Mihran. Inilah pendapat al-Syafi‘i” (Al-Mughni, Jilid 3, hlm. 176).

 WAKTU PELAKSANAAN PUASA SYAWAL

Boleh bagi seseorang untuk memulai puasa Syawal pada awal bulan secara berkesinambungan atau terpisah karena yang demikian itu masih termasuk puasa Syawal sebanyak enam hari. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

فلا فرق بين كونها متتابعة أو متفرقة في أول الشهر أو في آخره لأن الحديث ورد بها مطلقاً من غير تقييد، ولأن فضيلتها لكونها تصير مع الشهر ستة وثلاثين يوماً، والحسنة بعشر أمثالها فيكون ذلك كثلاثمائة وستين يوماً وهو السنة كلها فإذا وجد ذلك في كل سنة صار كصيام الدهر كله وهذا المعنى يحصل بالتفريق والله أعلم

“Tidak ada perbedaan jika puasa tersebut dilakukan langsung setelah Ramadan secara berkesinambungan atau dilakukan secara terpisah pada awal atau akhir bulan. Hal itu karena lafaz hadis menyebutkan secara mutlak tanpa memberi batasan dan karena keutamaannya terhitung bersama satu bulan (Ramadan) dengan dilengkapi Syawal menjadi 36 hari. Adapun kebaikannya dilipatgandakan sepuluh kali lipat, maka jadilah seperti puasa 360 hari, yaitu setahun penuh. Jika yang demikian itu dilakukan setiap tahun, maka seperti puasa sepanjang masa. Keutamaan yang seperti ini masih akan didapatkan jika dilakukan secara terpisah, wallahu a‘lam” (Al-Mughni, Jilid 3, hlm. 177).

Namun, jika seseorang langsung mengerjakannya setelah Ramadan secara berkesinambungan, maka inilah yang afdal karena lebih bersegera dalam kebaikan. Allah tabaraka wa ta‘ala berfirman,

فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ

“Berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan” (Al-Baqarah: 148).

Inilah pendapat mazhab Syafi‘iyyah. Imam al-Nawawi rahimahullah berkata,

قال أصحابنا والأفضل أن تصام الستة متوالية عقب يوم الفطر فإن فرقها أو أخرها عن أوائل شوال إلى أواخره حصلت فضيلة المتابعة لأنه يصدق أنه أتبعه ستا من شوال

“Sahabat-sahabat kami (dari mazhab Syafi‘iyyah) berkata, yang afdal adalah puasa Syawal sebanyak enam hari dilakukan secara langsung dan berurutan setelah Idulfitri. Jika dilakukan secara terpisah atau diakhirkan dari awal-awal bulan sampai akhir bulan, masih tetap mendapat keutamaannya karena hal ini pantas untuk dikatakan puasa Ramadan dan diikuti puasa Syawal sebanyak enam hari”
(Syarh Shahih Muslim, Jilid 8, hlm. 56).

Jika dilakukan langsung setelah hari Id pada tanggal dua Syawal, maka hal ini afdal dan tidak terlarang melakukannya. Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

ستة الأيام من شوال لا بأس أن تكون من ثاني العيد

“Tidak mengapa puasa Syawal sebanyak enam hari dilakukan pada hari kedua setelah Id” (Majmu‘ Fatawa, Jilid 20, hlm. 20).

Puasa hari kedua setelah Idulfitri pun tidaklah makruh menurut jumhur ulama. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,

وأكثر العلماء على أنه لا يكره صيام ثاني يوم لفطر

“Kebanyakan ulama berpandangan bahwa puasa pada hari kedua setelah Idulfitri tidaklah makruh” (Latha’if al-Ma‘arif, Jilid 1, hlm. 219).

Tidak ada waktu tertentu untuk puasa Syawal enam hari ini. Boleh bagi seseorang untuk memulai dan mengakhirinya pada hari apa pun dari hari-hari dalam bulan itu. Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

وهذه الست ليس لها أيام محدودة معينة من شوال بل يختارها المؤمن من جميع الشهر

“Enam hari ini tidak ada padanya batasan hari-hari tertentu. Bahkan, boleh seorang mukmin memilihnya dari setiap hari pada bulan itu” (Majmu‘ al-Fatawa, Jilid 20, hlm. 21).

 HUKUM MENGGABUNGKAN NIAT PUASA QADA DAN SYAWAL ENAM HARI

Masalah ini telah ditanyakan kepada al-‘Allamah ‘Abdul‘aziz bin Baz rahimahullah dan beliau menjawab,

نعم، تبدأ بالقضاء، ثم تصوم الست إذا أرادت، الست نافلة، إذا قَضَتْ في شوال ما عليها ثم صامت الست في شوال هذا خير عظيم، وأما أن تصوم الست بنية القضاء والست، فلا يظهر لنا أنه يحصل لها الأجر في ذلك، الست تحتاج لها نية خاصة في أيام مخصوصة

“Hendaknya engkau memulai dengan qada Ramadan kemudian jika engkau menginginkan puasa Syawal sebanyak enam hari, maka berpuasalah. Jika seseorang telah mengqada utang puasa Ramadannya pada bulan Syawal kemudian dia berpuasa enam hari, ini adalah kebaikan yang besar. Adapun dia menggabung niat puasa Syawal enam hari dengan qada Ramadan, hal ini tidak jelas bagi kami bahwa dia akan mendapat pahala atas yang demikian itu sebab puasa Syawal enam hari membutuhkan niat yang khusus pada hari yang khusus” (Fatawa Nur ‘ala al-Darb, Jilid 16, hlm. 446).

 HUKUM MENGGABUNGKAN NIAT PUASA SYAWAL DENGAN PUASA SUNAH LAINNYA

Selama puasa tersebut hukumnya sunah dengan sunah, maka niatnya boleh digabung. Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

وإذا اتفق أن يكون صيام هذه الستة في يوم الاثنين أو الخميس فإنه يحصل على الأجرين بنية أجر الأيام الستة وبنية أجر يوم الاثنين والخميس لقوله صلى الله عليه وسلم إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرء ما نوى

“Apabila puasa Syawal enam hari ini bertepatan dengan hari Senin dan Kamis, maka sesungguhnya bisa mendapatkan dua pahala dengan niat puasa Syawal enam hari dan puasa Senin-Kamis. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan hanyalah seseorang mendapatkan apa yang dia niatkan'” (Majmu‘ Fatawa, Jilid 20, hlm. 18–19).

Syekh ‘Abdul‘aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

إذا كان الصوم واجبا لا بد من نية الصوم الواجب الذي عليه، أما إذا كان تطوعا الحمد لله، إذا وافق يوم الاثنين، يوما من الأيام البيض، وافق خيرا على خير والحمد لله

“Apabila puasa tersebut wajib, harus niat puasa yang wajib tersebut atasnya (tidak digabungkan dengan puasa sunah). Adapun apabila puasa sunah, alhamdulillah apabila bertepatan dengan hari Senin, Kamis, dan yaumul bidh, maka ketika niatnya digabungkan sungguh telah menepati kebaikan di atas kebaikan, alhamdulillah” (Fatawa Nur ‘ala al-Darb, Jilid 16, hlm. 424–425).

 HUKUM MENDAHULUKAN PUASA SYAWAL DARIPADA QADA PUASA RAMADAN

Dalam hal ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada dua pendapat.

Pendapat pertama, harus menyelesaikan qada Ramadan terlebih dahulu untuk mendapatkan keutamaan puasa Syawal. Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah menjelaskan,

لأنها مع صيام رمضان أي: جميعه وإلا لم يحصل الفضل الآتي وإن أفطر لعذركصيام الدهر

“(Seseorang harus menqada puasa Ramadan terlebih dahulu untuk mendapatkan keutamaan puasa Syawal) karena puasa Syawal beriringan dengan puasa Ramadan, yaitu keseluruhannya. Jika tidak demikian, maka tidak akan mendapatkan keutamaannya, yaitu seperti puasa sepanjang masa, jika dia tidak mengerjakan puasa karena uzur.” (Tuhfah al-Muhtaj, Jilid 3, hlm. 456).

Demikian pula Ibnu Muflih rahimahullah menjelaskan,

ويتوجه تحصيل فضيلتها لمن صامها وقضى رمضان وقد أفطره لعذر لعله مراد الأصحاب

“Akan didapat keutamaan puasa Syawal enam hari bagi orang yang telah melakukannya dan telah mengqada puasa Ramadan ketika dia tidak berpuasa Ramadan karena uzur. Sepertinya, inilah yang diinginkan oleh mazhab Hanabilah.” (Al-Furu‘, Jilid 5, hlm. 86).

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekh ‘Abdul‘aziz bin Baz, Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, dan yang lainnya rahimahumullah. Syekh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan,

قال النبي صلى الله عليه وسلم: من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر. وإذا كان على الإنسان قضاء وصام الست قبل أن يصوم القضاء فهل يقال إنه صام رمضان وأتبعه بست من شوال؟ لا ما صام رمضان إذ لا يقال صام رمضان إلا إذا أكمله وعلى هذا فلا يثبت أجر صيام ستة من شوال لمن صامها وعليه قضاء من رمضان إلا إذا قضى رمضان ثم صامها

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa yang berpuasa Ramadan kemudian diikuti dengan puasa Syawal sebanyak enam hari, maka seakan-akan dia telah berpuasa setahun penuh lamanya.’ Apabila seseorang mempunyai utang puasa Ramadan, kemudian dia berpuasa enam hari pada bulan Syawal sebelum mengqadanya, apakah bisa orang yang seperti ini dikatakan sesungguhnya dia telah puasa Ramadan dan diikuti puasa Syawal sebanyak enam hari? Jawabannya tentu tidak. Dia belum puasa Ramadan karena tidaklah dikatakan dia telah puasa Ramadan kecuali apabila telah menyempurnakannya. Atas dasar ini, tidak berlaku pahala puasa Syawal sebanyak enam hari bagi yang telah mengerjakannya, tetapi masih ada utang puasa Ramadan. Kecuali apabila dia telah menyelesaikan utang-utang puasa Ramadan, kemudian melanjutkan puasa Syawal sebanyak enam hari.” (Majmu‘ Fatawa, Jilid 20, hlm. 20).

Bagaimana jika seseorang mempunyai utang puasa sebulan penuh, seperti wanita nifas atau yang semisalnya, kapan dia akan melakukan puasa Syawal? Menurut Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, dia harus menyelesaikan qada terlebih dahulu, kemudian baru berpuasa Syawal pada bulan Zulkaidah. Beliau rahimahullah menjelaskan,

فلو فرض أن القضاء استوعب جميع شوال مثل أن تكون امرأة نفساء ولم تصم يوما من رمضان ثم شرعت في قضاء الصوم في شوال ولم تنته إلا بعد دخول شهر ذي القعدة فإنها تصوم الأيام الستة ويكون لها أجر من صامها في شوال لأن تأخيرها هنا للضرورة وهو متعذر، فصار لها الأجر

“Jika seseorang mengqada puasa Ramadan sebulan penuh pada bulan Syawal, seperti wanita nifas, dia tidak melakukan puasa Ramadan walaupun satu hari. Kemudian dia memulai membayar utangnya pada bulan Syawal. Tidaklah dia menyelesaikan qadanya melainkan telah masuk bulan Zulkaidah. Karena itu, yang hendaknya dia lakukan adalah puasa enam hari Syawal pada bulan tersebut. Adapun dia tetap mendapat pahala seperti orang yang puasa enam hari pada bulan Syawal karena keterlambatannya di sini adalah perkara yang darurat. Dia mendapat uzur, maka dia tetap mendapatkan pahalanya” (Majmu‘ Fatawa, Jilid 20, hlm. 19).

Adapun ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِي شَعْبَانَ. قَالَ يَحْيَى: الشُّغْلُ مِنَ النبيِّ أوْ بالنبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ.

“Dahulu aku memiliki utang puasa Ramadan dan tidaklah aku sempat mengqadanya kecuali setelah sampai bulan Syakban (yakni terus tertunda hingga tiba bulan Syakban berikutnya–pen).” Yahya mengatakan, “Hal itu karena kesibukannya dalam melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Al-Bukhari, no.1.950).

Syekh ‘Abdul‘aziz bin Baz rahimahullah menerangkan,

ويظهر في هذا أن عائشة رضي الله عنها، ما كانت تصوم الست من شوال في حياة الرسول صلى الله عليه وسلم، ولا غيرها من النوافل، وعليها القضاء، والظاهر أنها تؤخر القضاء وغير القضاء

“Yang tampak di sini bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak melakukan puasa enam hari pada bulan Syawal selama bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula puasa sunah lainnya dalam keadaan beliau masih memiliki utang puasa. Yang tampak adalah beliau mengakhirkan qada dan yang lainnya” (Fatawa Nur ‘ala al-Darb, Jilid 16, hlm. 445).

Pendapat kedua, boleh bagi seseorang untuk mengakhirkan qada dan mendahulukan puasa Syawal sebanyak enam hari, terlebih bagi yang memiliki utang puasa Ramadan yang banyak. Hal itu karena qada Ramadan bisa dilakukan pada bulan apa pun dan waktunya luas. Adapun puasa enam hari ini, keutamaannya hanya ada pada bulan Syawal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan keutamaannya khusus dengan bulan Syawal. Adapun mengqada Ramadan, kewajibannya tidak harus langsung ditunaikan, bahkan boleh ada senggang waktu menurut mayoritas ulama salaf. Imam al-Nawawi rahimahullah menjelaskan,

مذهب مالك وأبي حنيفة والشافعي وأحمد وجماهير السلف والخلف أن قضاء رمضان في حق من أفطر بعذر كحيض وسفر يجب على التراخي ولا يشترط المبادرة به في أول الإمكان

“Mazhab Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’i, Ahmad, dan jumhur ulama salaf, serta yang setelahnya adalah qada Ramadan bagi orang yang tidak berpuasa karena uzur seperti di antara contohnya haid dan safar, wajib disertai dengan senggang waktu. Tidak disyaratkan untuk bersegera sebisa mungkin pada awal waktu” (Syarh Shahih Muslim, Jilid 8, hlm. 22–23).

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِي شَعْبَانَ. قَالَ يَحْيَى: الشُّغْلُ مِنَ النبيِّ أوْ بالنبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ.

“Dahulu aku memiliki utang puasa Ramadan dan tidaklah aku sempat mengqadanya kecuali setelah sampai bulan Syakban (yakni terus tertunda hingga tiba bulan Syakban berikutnya–pen).” Yahya mengatakan, “Hal itu karena kesibukannya dalam melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Al-Bukhari, no.1.950).

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan,

وفي الحديث دلالة على جواز تأخير قضاء رمضان مطلقا سواء كان لعذر أو لغير عذر

“Di dalam hadis tersebut terdapat dalil atas bolehnya mengakhirkan qada Ramadan, baik karena uzur maupun tidak.” (Fath al-Bari, Jilid 4, hlm. 191).

Oleh karena itu, jika seseorang mampu untuk mengqada puasa Ramadan terlebih dahulu, setelah itu puasa Syawal sebanyak enam hari. Inilah yang semestinya ditempuh karena kewajiban harus didahulukan. Namun, jika sulit karena uzur, tidak mengapa seseorang mendahukukan puasa Syawalnya. Syekh Muqbil bin Hadi rahimahullah menjelaskan,

وقت القضاء موسع، بخلاف صوم الست فليس لها محل إلا في شوال أما وقت القضاء فقد جاء عن عائشة رضي الله تعالى عنها أنها قالت: ما كنت أقضي إلا في شعبان، أي لأنها تشغل برسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم.

“Waktu qada itu luas. Berbeda halnya dengan puasa enam hari pada bulan Syawal yang tidaklah berlaku kecuali pada bulan Syawal. Adapun waktu qada, sungguh telah datang riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menerangkan bahwa beliau tidaklah mengqada utang puasanya kecuali pada bulan Syakban karena beliau sibuk berkhidmat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (http://muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=2278).

Inilah pendapat yang kuat, wal-‘ilmu ‘indallah. Meskipun ini adalah ucapan ‘Aisyah, riwayat tersebut secara hukum disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan,

للحديث حكم الرفع لأن الظاهر اطلاع النبي صلى الله عليه وسلم على ذلك مع توفر دواعي أزواجه على السؤال منه عن أمر الشرع فلو لا أن ذلك كان جائزا لم تواظب عائشة عليه

“Hadis ini memiliki hukum disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang tampak adalah beliau mengetahui hal itu karena sudah semestinya istri-istri beliau bertanya tentang hukum syariat. Seandainya hal itu tidak boleh, tentu ‘Aisyah tidak terus-menerus seperti itu.”
(Fath al-Bari, Jilid 4, hlm. 191).

 Oleh: Abu Fudhail Abdurrahman bin Umar غفر الرحمن له.

https://www.alfudhail.com/tentang-puasa-syawal-enam-hari/

0 komentar:

Posting Komentar