Bantahan Terhadap Ahli Bid`ah yang Menyatakan bahwa Doa Orang Mati Bermanfaat dan Masalah Pemberian Harakat Al-Qur'an

Posted On // Leave a Comment

Bantahan Terhadap Ahli Bid`ah yang Menyatakan bahwa Doa Orang Mati Bermanfaat dan Masalah Pemberian Harakat Al-Qur'an
Diposting oleh IlmuSyar'i.com —

📌Bantahan Terhadap Ahli Bid`ah yang Menyatakan bahwa Doa Orang Mati Bermanfaat dan Masalah Pemberian Harakat Al-Qur'an

Pertanyaan Ketiga Dari Fatwa Nomor (2213):

Pertanyaan 3: Sebagian ahli bid`ah yang berdoa kepada orang-orang mati berkata: "Bagaimana kalian mengatakan: "Orang mati tidak memberi manfaat", padahal Nabi Musa `Alaihis Salam telah memberi manfaat kepada kita karena ia merupakan penyebab keringanan shalat dari lima puluh menjadi lima". Sebagian mereka berkata: "Mengapa kalian mengatakan: "Setiap bid`ah itu sesat", lantas bagaimana pendapat kalian mengenai pemberian harakat dan titik pada Al-Qur`an, padahal semua itu terjadi sepeninggal Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam?". Bagaimana kami menjawab mereka?.

Jawaban 3:
➡Pertama: Pada dasarnya orang mati tidak mendengar panggilan orang yang memanggil mereka, dan tidak pula menjawab doa orang yang berdoa kepada mereka, serta tidak berbicara dengan orang-orang yang hidup meskipun mereka adalah para nabi, bahkan amalan mereka terputus sejak kematian mereka, berdasarkan firman Allah Ta'ala: Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.(13)Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui. dan firman-Nya: dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar . dan firman-Nya: Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)-nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka?(5)Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka. dan sabda Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam: Jika anak Adam meninggal maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal; sedekah jariyah, anak saleh yang mendoakannya, dan ilmu yang bermanfaat diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya. Beberapa perkara yang telah ditetapkan berdasarkan dalil sahih diperkecualikan dari hukum asal ini, seperti mendengarnya Ahli Qalib dari kalangan orang-orang kafir yang mendengar sabda Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam seusai perang Badar.
Juga seperti shalat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersama para nabi pada malam Isra' dan perbincangan beliau bersama para nabi `Alaihimu ash Shalatu wa as Salam di langit tatkala beliau dinaikkan. Juga seperti nasehat Musa kepada Nabi kita `Alaihima ash Shalatu wa as Salam supaya beliau meminta kepada Allah keringanan jumlah salat yang telah diwajibkan kepada beliau dan umat beliau. Atas nasehat Nabi Musa tersebut, Nabi kita Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam meminta keringanan kepada Allah hingga menjadi salat lima waktu dalam sehari semalam. Ini merupakan bagian dari mukjizat dan hal-hal di luar kebiasaan, maka hal tersebut terbatas pada apa yang ada sumbernya, dan tidak diqiyaskan kepada perkara lain yang masuk dalam keumuman hukum asal, sebab keberadaannya pada hukum asal lebih kuat daripada mengeluarkannya dengan qiyas terhadap hal-hal di luar kebiasaan. Sebagaimana diketahui bahwa mengqiyaskan perkara-perkara yang dikecualikan terhadap hukum-hukum asal tidak diperbolehkan, terlebih lagi jika tidak diketahui illat-nya. Illat (sebab) di dalam persoalan ini tidak diketahui, karena ia termasuk perkara gaib yang tidak diketahui melainkan secara tauqifi dari syariat. Sepanjang pengetahuan kami, dalam permasalahan tersebut tidak ada tauqif (penetapan) dari syariat. Oleh karena itu berpegang pada hukum asal adalah wajib.

➡Kedua: Umat Islam diperintahkan menjaga Al-Qur`an, secara tulisan dan bacaannya, serta menjaganya dengan membacanya sesuai tata cara yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam kepada mereka. Bahasa para sahabat Radhiyallahu `Anhum adalah bahasa Arab yang baik, karena orang-orang asing yang hidup di tengah mereka jumlahnya sangat sedikit. Perhatian mereka sangat besar terhadap tata cara baca Al-Quran sebagaimana ia diturunkan. Keadaan seperti itu berlanjut hingga masa Khulafaur Rasyidin. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam membaca Al-Qur`an. Mereka juga tidak merasakan kesulitan membacanya walau tulisannya tanpa tanda titik dan harakat. Pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, jumlah kaum Muslimin yang berasal dari bangsa bukan Arab bertambah banyak. Mereka bercampur dengan kaum Muslimin dari Arab. Maka mulailah ada kekhawatiran akan terjadinya kesalahan bacaan. Tulisan Al-Quran yang tanpa tanda titik dan harakat dikhawatirkan akan menyulitkan mereka dalam membacanya dengan baik dan benar. Maka Abdul Malik bin Marwan mengeluarkan perintah untuk memberi tanda titik dan harakat pada Al-Quran. Perintah itu dilaksanakan oleh Hasan Basri dan Yahya bin Ya`mur
Rahimahullah. Mereka berdua adalah tabi`in yang paling bertakwa dan mengerti serta paling dipercaya untuk menjaga Al-Qur`an, dan melindunginya dari perubahan, serta untuk mempermudah bacaan, pengajaran dan mempelajarinya, sebagaimana diterima dari Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam.
Dengan penjabaran ini dapat diketahui bahwa pembubuhan tanda titik dan harakat pada Al-Quran meskipun tidak dijumpai pada masa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, tapi ia masuk ke dalam keumuman perintah untuk menjaga, mengajarkan, dan mempelajari Al-Quran sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam kepada umat beliau, agar dakwah Islam sempurna, syari`atnya menyebar, dan terus berkelanjutan sampai tiba hari kiamat. Berdasarkan hal ini, maka pembubuhan tanda titik dan harakat pada Al-Quran tidak termasuk bid`ah, karena bid`ah adalah: perkara baru yang tidak memiliki dalil khusus atau umum yang menjadi landasan baginya dan bagi lainnya. Sebagian orang yang biasa berbicara tentang Sunnah dan Bid`ah menamakan hal seperti ini: "Mashlahah Mursalah", bukan bid`ah. Mereka mengatakan : bid`ah dari segi bahasa, karena perbuatan tersebut tercipta dari sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya dan bukan bid`ah dari segi syari`at, sebab ia masuk dalam keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban menjaga Al-Qur`an serta membaca, mempelajari, dan mengajarkannya secara benar. Contoh lain adalah ucapan Umar Radhiyallahu `Anhu, ketika mengumpulkan kaum muslimin untuk berjamaah shalat tarawih: ( bid`ah yang paling baik adalah ini ) . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tanda titik dan harakat itu masuk ke dalam keumuman dalil yang menunjukkan atas kewajiban menjaga Al-Qur`an sebagaimana diturunkan. Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

📚Al-Lajnah ad-Daimah Lilbuhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta'

Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Wakil: Abdurrazzaq 'Afifi

Anggota: Abdullah bin Ghudayyan | Abdullah bin Qu'ud

http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=7929

📁http://bit.ly/Al-Ukhuwwah
Pada 23.05.2016

الفتوى رقم ( 2213 ) :
س3: قال بعض أهل البدع الذين يدعون أهل القبور قال: كيف تقولون: الميت لا ينفع وقد نفعنا موسى عليه السلام حيث كان السبب في تخفيف الصلاة من خمسين إلى خمس، وقال بعضهم: كيف تقولون: كل بدعة ضلالة، فماذا تقولون في شكل القرآن ونقطه، كل ذلك حدث بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم، فبماذا نجيبهم؟
ج3: أولا: الأصل في الأموات أنهم لا يسمعون نداء من ناداهم من الناس، ولا يستجيبون دعاء من دعاهم، ولا يتكلمون مع الأحياء من البشر ولو كانوا أنبياء، بل انقطع عملهم بموتهم؛ لقول
الله تعالى: سورة فاطر الآية 13 وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ سورة فاطر الآية 14 إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ وقوله: سورة فاطر الآية 22 وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ وقوله: سورة الأحقاف الآية 5 وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ سورة الأحقاف الآية 6 وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِ
هِمْ كَافِرِينَ وقول رسول الله صلى الله عليه وسلم: [مسند الإمام أحمد] (5 / 261، 269)، ومسلم في صحيحه [مسلم بشرح النووي] (11 / 85)، واللفظ لمسلم. إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، وولد صالح يدعو له وعلم ينتفع به رواه مسلم في صحيحه، ويستثنى من هذا الأصل ما ثبت بدليل صحيح، كسماع أهل القليب من الكفار كلام رسول الله صلى الله عليه وسلم عقب غزوة بدر ، وكصلاته بالأنبياء ليلة الإسراء، وحديثه مع الأنبياء عليهم الصلاة والسلام في السماوات حينما عرج به إليها، ومن ذلك نصح موسى لنبينا عليهما الصلاة والسلام أن يسأل الله التخفيف مما افترضه عليه وعلى أمته من الصلوات فراجع نبينا صلى الله عليه وسلم ربه في ذلك حتى صارت خمس صلوات في كل يوم وليلة، وهذا من المعجزات وخوارق العادات
فيقتصر فيه على ما ورد.. ولا يقاس عليه غيره مما هو داخل في عموم الأصل؛ لأن بقاءه في الأصل أقوى من خروجه عنه بالقياس على خوارق العادات، علما بأن القياس على المستثنيات من الأصول ممنوع خاصة إذا لم تعلم العلة، والعلة في هذه المسألة غير معروفة؛ لأنها من الأمور الغيبية التي لا تعلم إلا بالتوقيف من الشرع، ولم يثبت فيها توقيف فيما نعلم، فوجب الوقوف بها مع الأصل.
ثانيا: الأمة مأمورة بحفظ القرآن كتابة وتلاوة، وبقراءته على الكيفية التي علمهم إياها رسول الله صلى الله عليه وسلم، وقد كانت لغة الصحابة رضي الله عنهم عربية سليمة؛ لقلة الأعاجم بينهم، وعنايتهم بتلاوته - كما أنزل - عظيمة، واستمر ذلك في عهد الخلفاء الراشدين فلم يخش عليهم اللحن في قراءة القرآن ولم يشق عليهم قراءته من المصحف بلا نقط ولا شكل، فلما كانت خلافة عبد الملك بن مروان وكثر المسلمون من الأعاجم واختلطوا بالمسلمين من العرب خشي عليهم اللحن في التلاوة وشق عليهم القراءة من المصحف بلا نقط ولا شكل، فأمر عبد الملك بن مروان بنقط المصحف وشكله، وقام بذلك الحسن البصري ، ويحيى بن يعمر رحمهما الله، وهما من أتقى التابعين وأعلمهم وأوثقهم؛ محافظة على القرآن، وصيانة له من أن يناله
تحريف، وتسهيلا لتلاوته وتعليمه وتعلمه، كما ثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم. وبهذا يتبين أن كلا من نقط القرآن وشكله - وإن لم يكن موجودا في عهد النبي صلى الله عليه وسلم - فهو داخل في عموم الأمر بحفظه وتعليمه وتعلمه على النحو الذي علمه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته؛ ليتم البلاغ، ويعم التشريع، ويستمر حتى يرث الله الأرض ومن عليها، وعلى هذا لا يكون من البدع؛ لأن البدعة: ما أحدث ولم يدل عليه دليل خاص به أو عام له ولغيره، وقد يسمي مثل هذا بعض من تكلم في السنن والبدع: مصلحة مرسلة، لا بدعة، وقد يسمى هذا: بدعة من جهة اللغة؛ لكونه ليس على مثال سابق لا من جهة الشرع؛ لدخوله تحت عموم الأدلة الدالة على وجوب حفظ القرآن وإتقانه تلاوة وتعلما وتعليما، ومن هذا قول عمر رضي الله عنه لما جمع الناس على إمام واحد في التراويح: (نعمت البدعة هذه). والظاهر دخول النقط والشكل في عموم النصوص الدالة على وجوب حفظ القرآن كما أنزل.
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

0 komentar:

Posting Komentar