(lanjutan) KAJIAN CARA ISYARAT JARI 👉🏻KETIKA TASYAHHUD DALAM SHOLAT 📝 Bagian 3 dari 3 bagian

Posted On // Leave a Comment
(lanjutan) KAJIAN CARA ISYARAT JARI 👉🏻KETIKA TASYAHHUD DALAM SHOLAT 📝
Bagian 3 dari 3 bagian

****************
#fiqh_sholat
#isyarat_telunjuk
#perbedaan_pendapat
****************

Selanjutnya akan disebutkan 2 pokok perselisihan dalam menghukumi shahih atau tidaknya riwayat Zaidah bin Qudamah rahimahullah. Jika sepakat pada keduanya bukan tidak mungkin dipertemukan, bitaufiqillah;

F. Secara bahasa; sebenarnya jelas berbeda antara makna تَحْرِيْك (menggerakkan) dengan إِشَارَة (memberi isyarat).
Walaupun Syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbaniy rahimahullah ketika menjawab bantahan terhadap salah seorang murid Syaikh Muqbil rahimahullah8) dalam "Tamamul Minnah" halaman 218 dan juga beberapa pelajaran dalam "Silsilah alHuda wanNur" beliau mengemukakan bahwa secara makna "menggerakkan" dan "mengisyaratkan" tidaklah berbeda. Beliau memberikan contoh antara lain dengan hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha dalam "al Irwa' " 2/119 tentang perbuatan Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam saat mengimami para sahabat yang berdiri dalam kondisi Rasulullah duduk dalam salah satu sholat (fardlu), MENGISYARATKAN dengan tangan beliau agar mereka turut duduk (mengikuti imam). Yakni tidak mungkin dipahami isyarat untuk duduk kecuali beliau gerak-gerakkan tangan beliau, sehingga asySyaikh berpendapat bahwa "isyarat" tidak menafikan "menggerakkan" dan keduanya tidak bertentangan; maka riwayat Zaidah bin Qudamah pun tidaklah bertentangan secara makna dengan riwayat lainnya.
Jawabannya telah dikemukakan tak kalah ilmiah pula oleh para masyayaikh dan tholabatul 'ilm yang bersebrangan pendapat, yaitu:
Jika dinyatakan bahwa TERKADANG memberi isyarat itu dilakukan dengan menggerak-gerakkan (jari, tangan, atau anggota badan yang sesuai) maka kita setujui. Namun kalau disebut bahwa SEMUA isyarat jari itu SELALU dengan menggerakkannya, maka tidak bisa kita terima. Kita contohkan jika kita hendak memerintahkan anak kita yang berada di kejauhan untuk menghampiri kita maka isyarat kita saat itu akan dipahami jika kita gerakkan telapak tangan atau jari-jemari ke atas-bawah yang secara kebiasaan masyarakat dipahami itu adalah sinyalemen ajakan ke arah pemberi isyarat. Contoh sebaliknya saat ada pesawat di salah satu arah langit untuk mengisyaratkan ke arah itu kita hanya perlu menunjukkan atau mengacungkan jari telunjuk kita ke arah pesawat tersebut hingga diketahui oleh orang yang kita inginkan turut melihatnya, tentu tanpa mengerakkan jari atau telapak secara berulang. Jikapun menggerakkan hanya saat di awal mengangkatnya dan akhir ketika selesai menunjuk. Artinya ada perbedaan signifikan yang sudah jamak dimaklumi, bahwa makna isyarat dengan menggerakkan tangan (atau anggota badan lainnya) hanyalah diperlukan pada keadaan tertentu yang diperlukan. Sehingga yang lebih adil dinyatakan bahwa setiap menggerakkan adalah isyarat namun tidak setiap isyarat bermakna menggerakkan. Maka ketika dibawakan pengertian isyarat sebagai menggerakkan harus ada parameter yang jelas bahwa memang diperlukan gerakan. Sementara pada bacaan tasyahhud secara asal tidak ditemukan parameter yang mengharuskan menggerakkan telunjuk secara berulang.
Menguatkan sisi bahasa ini sebagian ulama sebagaimana dinukil dalam Majalah alBuhuts al’Ilmiyyah (sebagaimana catatan kaki pada bagian pertama) juga ada yang menafsirkan makna kata “Do’a” dalam cuplikan redaksi hadits “mengisayaratkan jari (telunjuk), dan BERDO’A dengannya” sebagai MEMBACA (seluruh) TASYAHHUD, bukan hanya sebagian kalimat doa pada keseluruhan rangkaian tasyahhud. Karena dipahami bahwa tasyahhud masuk pada setidaknya salah satu jenis do’a (jika tidak disebut masuk dalam keduanya)8), demikian pula doa adalah bagian dalam rangkaian tasyahhud yang juga berisi pujian, dzikir dan ditambah sholawat. Jika kita indahkan penggunaan jenis gaya bahasa PENYEBUTAN KESELURUHNYA UNTUK MEMAKSUDKAN SEBAGIANNYA maka akan (semakin) dimaklumi bahwa makna isyarat adalah mengacungkan/menegakkan jari telunjuk dari awal dibacanya tasyahhud hingga akhirnya. Wallahu a’lam

G. Dari sisi kaidah tambahan faidah yang berasal dari seorang perawi tsiqoh jika mengabarkan sesuatu yang tidak dikabarkan oleh perawi yang lebih tsiqoh; Al'Allamah alAlbaniy rahimahullah dalam membantah penulis "alBisyaroh"9) setelah memaparkan pendapat beliau bahwa tidak ada pertentangan secara bahasa, beliau menegaskan (secara makna) bahwa bahkan inilah yang disebut "tambahan faidah dari seorang perawi tsiqoh" (زيادة الثقة) yang diterima di kalangan ahli fiqh dan ushul sehingga tidak bisa disebut syadz.

Namun masyayaikh lain mengingatkan11) bahwa ada perbedaan dalam menghukumi tambahan faidah dari perawi tsiqqah, dimana seluruhnya secara mutlak diterima oleh ahli fiqih dan ushul, sementara yang lebih dikenal di kalangan ahli hadits adalah membatasinya. Jika faidah tambahan tersebut sesuatu yang "baru" (baca: berbeda) dengan riwayat-riwayat para perawi di bawah tingkat ketsiqohan pemberi tambahan faidah maka diterima. Sebaliknya jika menyelisihi para perawi yang setingkat atau bahkan di atasnya, inilah yang justru dinyatakan sebagai tambahan yang batil12). Kita perhatikan ternyata "faidah tambahan" berupa lafadz "menggerakkan" pada riwayat Zaidah bin Qudamah adalah jenis kedua, sehingga tidak bisa menyelamatkannya dari hukum syadz, Wal'ilmu 'indallah.

Dan selanjutnya berikut ini beberapa faidah tambahan yang menguatkan pandangan bahwa isyarat tidak bermakna menggerakkan jari ketika tasyahhud dalam sholat:

H. Kalaupun tetap dinyatakan bahwa "memberi isyarat" tidak bertentangan dengan "menggerakkan" atau dengan kata lain kita berupaya menggabungkan (baca: menjamak) 2 makna ini, sepatutnya kita tidak mengesampingkan cara yang dipilih para ulama yang juga tidak sedikit yang memilih menggabungkannya dengan pengertian sebagaimana telah disebutkan pada poin awal sebelumnya.

I. Terdapat hadits yang dengan tegas meniadakan "menggerakkan" dari Abdullah ibnu azZubair radhiyallahu 'anhuma dalam riwayat Imam Ahmad, anNasa-i, Abu Dawud, dan ibnu Majah, ibnu Khuzaimah, alBaihaqiy, dan alBaghowiy dalam “Syarhussunnah” dan bahkan Ibnu Hajar al'Asqolaniy rahimahullah berkata: "Asal redaksi hadits dalam (Shahih) Muslim13) tanpa penyebutan kalimat: "dan pandangan mata beliau tidak melampaui isyaratnya.14)
dengan redaksi:
«كان يشير بالسبابة ولا يحركها، ولا يجاوز بصره إشارته»
"Beliau shollallahu 'alaihi wasallam mengisyaratkan dengan telunjuk beliau dan TIDAK MENGGERAKKANNYA, dan pandangan mata beliau tidak melampaui isyaratnya."
قال ابن حجر: وأصله في مسلم دون قوله: «ولا يجاوز بصره» (نيل الأوطار:283/ 2).
(¬4) رواه أحمد والنسائي وأبو داود وابن ماجه وابن خزيمة والبيهقي (المصدر السابق) وروى البيهقي حديثا ضعيفا عن ابن عمر: «تحريك الأصبع في الصلاة مذعرة للشيطان

J. Jika riwayat yang “mahfudz”15) dalam masalah ini (sebagaimana telah dibahas) kita pertemukan dengan hadits berikut, akan diperoleh penafsiran yang saling melengkapi;
Disebutkan oleh al Imam Muslim dalam Shahih beliau no. 430, anNasa-i 1184 dan selain keduanya: dari sahabat Jabir bin Samuroh radhiyallahu 'anhu
" ﺧﺮﺝ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ‏[ ﻭﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺍﻓﻌﻮﺍ ﺃﻳﺪﻳﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ‏] ﻓﻘﺎﻝ : ﻣﺎﻟﻲ ﺃﺭﺍﻛﻢ ﺭﺍﻓﻌﻲ ﺃﻳﺪﻳﻜﻢ ﻛﺄﻧﻬﺎ ﺃﺫﻧﺎﺏ ﺧﻴﻞ ﺷﻤﺲ؟ ﺍﺳﻜﻨﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ "...
"Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam pernah keluar menemui kami disaat manusia meninggikan tangan-tangan mereka ketika sholat, maka beliau shollallahu 'alaihi wasallam bersabda: ((Mengapa aku masih melihat kalian meninggikan tangan-tangan kalian seakan akan seperti ekor kuda yang kepanasan di terik matahari? Hendaklah kalian menenangkan badan kalian ketika sholat!)).
Terdapat kandungan tuntunan menenangkan anggota badan dan kedua tangan di mana pada keduanya terdapat jari-jemari tentunya. Dan tidak akan tercapai ketenangan itu melainkan dengan meninggalkan (banyak) gerakan-gerakan. Karena ekor kuda (terutama saat kepanasan) banyak digerak-gerakkan. Maka akan sempurna implementasinya jika kita meninggalkan penyerupaan darinya.

J. Adanya ucapan sebagian fuqoha' bahwa:
السبابة مرتبطة متصلة بنياط القلب، فتحريكها تحريك للقلب
jari telunjuk itu tersambung atau terkoneksi langsung dengan penggugah qolbu, menggerakkan jari berarti menggerakkan qolbu...
Maka tidaklah bisa dijadikan dalil penguat. Karena yang pertama bahwa urusan ibadah dan tata-cara pelaksanaannya adalah bukan urusan manusia16), kita diperintah untuk sekedar menerima, atau diistilahkan dengan tauqifiyyah. Juga tidak diperoleh bukti ilmiyyah kauniyyah ataupun syar'iyyah yang menguatkan asumsi di atas. Namun jikapun ada bukti, dalam masalah ibadah tetap tidak bisa langsung diterapkan jika tidak didapatkan tuntunannya.

KESIMPULAN:
Yang lebih kuat (sebatas kajian ini) adalah pendapat JUMHUR ulama yang berpendapat mengisyaratkan jari telunjuk (sekedar) dengan mengacungkan/menunjuk ke arah kiblat tanpa menggerakkannya dari awal tasyahhud hingga akhirnya. Namun perlu diingatkan juga bahwa ini adalah bagian dari pencarian kebenaran pada perselisihan ini bagi penulis sejauh ini. Tidak menutup kemungkinan jika diperoleh hujjah yang lebih kuat akan memabawa perubahan dalam pemilihan pendapat. Sehingga tidak sepantasnya bagi kita bermusuhan karena masalah ijtihadiyyah fiqhiyyah semacam ini, dan wajib untuk tetap menghargai saudara kita yang berbeda pilihan, dan tetap mencintai dan menghormati para ulama yang telah berjihad dan berijtihad, dengan harapan semoga ijtihad mereka jika kurang tepat setidaknya memperoleh 1 balasan kebaikan yang telah dijanjikan, Amin

Selesai walhamdulillah...

-----------------------
8) Kedua jenis doa adalah 1. Doa Masalah (permintaan agar dikaruniakan kebaikan atau dihindarkan dari keburukan), dan 2. Doa Ibadah (seluruh ibadah termasuk dzikir yang ujung pengharapan kita terkandung permintaan dan harapan semoga kita dimasukkan alJannah dan dijauhkan dari anNar).

9) Judul risalahnya: "alBisyaroh fi Syudzudzi TahrikilAshobi'i fitTsyahhudi waTsubutil Isyaroh" karya AbulMundzir Ahmad bin Sa'id bin 'Ali alAsyhabiy alHajiriy alYamaniy waffaqohullah yang telah dimuroja'ah dan diberi pengantar oleh Syaikh Muqbil bin Hadi alWadi'iy rahimahullah.

10) Semoga kita dijauhkan dari taqlid ketika ada sarana dan kemudahan untuk membandingkan penjelasan ilmiah para ulama, bukan sebagai bentuk pengabaian dari suatu pendapat, namun kita berharap justru membiasakan diri kita untuk mencintai kebenaran lebih dari alim manapun yang kita kagumi dan cintai.

11)  Syaikh Badr alBadr alAnaziy hafidzahullah menyebut alasan penyebutan syarat tidak adanya syudzuz dalam hadits shahih walaupun kalangan ahli ushul dan fiqh bermudahan dengan menerima semua jenis "ziyadatutsTsiqot", namun yang lebih rajih di kalangan ahli hadits bahwa jika menyelisihi riwayat rawi yang lebih kuat maka ini justru syadz yang asalnya termasuk illat/penyakit, namun diutamakan peniadaannya dalam syarat keshahihan hadits sebagai bantahan bagi ahli fiqh dan ushul. Simak kelengkapan penjelasannya di:
http://www.alwaraqat.net/showthread.php?27559-%E3%C8%C7%CD%CB-%DD%ED-%DA%E1%E3-%E3%D5%D8%E1%CD-%C7%E1%CD%CF%ED%CB-%D3%C8%C8-%C7%D4%CA%D1%C7%D8-%DA%CF%E3-%C7%E1%D4%D0%E6%D0-%DD%ED-%CA%DA%D1%ED%DD-%C7%E1%CD%CF%ED%CB-%C7%E1%D5%CD%ED%CD

13). al Imam Muslim secara Muallaq (sebagai tambahan penjelasan, tidak masuk nomor hadits dalam shahih beliau)

14) Nailul Author karya asySyaukaniy rahimahullah 2/283 dengan tambahan takhrij

15). Yakni kebalikan/lawan dari Syadz

16). Agama adalah urusan Allah ta'ala yang disampaikan melalui lisan Rasul-Nya shollallahu 'alaihi wasallam. Sebagaimana disebutkan contohnya dalam hadits tentang larangan berbuat bid'ah pada redaksi riwayat alBukhari rahimahullah disebut padanya:
من أحدث في أمرنا هذا...
"Barang siapa yang mengadakan sesuatu yang baru dalam urusan kami ini..." dipahami yaitu agama, asal prinsipnya, tatacaranya, dan seterusnya.


🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃

Dirangkum dari berbagai sumber oleh:
✏Abu Abdirrahman Sofian عفى الله عنه ولواديه وللمسلمين ... آمين

dipublikasikan melalui:
📡group WA alI'tishom | Kraksaan | 16 Rabi'ul Awwal 1437 H.

※※※※※※※※※※※※※※※※
🅾 MAJMU'AH AL ISTIFADAH 🅾
※※※※※※※※※※※※※※※※

Ⓜ مجموعة الاستفادة
🌍 http://bit.ly/tentangwalis
▶ Telegram http://bit.ly/alistifadah JOIN

0 komentar:

Posting Komentar