Persoalan-Persoalan Seputar Akikah
Pertanyaan :
Banyak pertanyaan diajukan kepada Redaksi seputar mengakikahi diri sendiri dan mengakikahi setelah hari ke-7 kelahiran. Juga bila baru punya satu kambing untuk akikah anak laki-laki bolehkah dengan satu kambing dahulu, dan yang lain menyusul? Demikian juga apakah bayi yang meninggal diakikahi?
(Dijawab oleh al Ustadz Qomar Suaidi) :
(Dijawab oleh al Ustadz Qomar Suaidi) :
1. Mengakikahi diri sendiri.
Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yang terkuat dari pendapat yang ada adalah boleh. Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan bahwa beliau mengakikahi dirinya sendiri setelah menjadi nabi.
Hadits ini sahih menurut pendapat yang paling kuat (rajih). Sebagian ulama melemahkannya, namun pendapat mereka keliru. Oleh karena itu, kami akan sedikit menyampaikan pembahasan hadits ini.
Sebenarnya hadits ini telah panjang lebar dibahas oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab beliau Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 2726. Di sini saya hanya akan meringkas apa yang dijabarkan oleh beliau dan sedikit menambahkan yang perlu. Adapun bunyi hadits itu. Anas berkata,
Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yang terkuat dari pendapat yang ada adalah boleh. Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan bahwa beliau mengakikahi dirinya sendiri setelah menjadi nabi.
Hadits ini sahih menurut pendapat yang paling kuat (rajih). Sebagian ulama melemahkannya, namun pendapat mereka keliru. Oleh karena itu, kami akan sedikit menyampaikan pembahasan hadits ini.
Sebenarnya hadits ini telah panjang lebar dibahas oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab beliau Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 2726. Di sini saya hanya akan meringkas apa yang dijabarkan oleh beliau dan sedikit menambahkan yang perlu. Adapun bunyi hadits itu. Anas berkata,
عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا بُعِثَ نَبِيًّا
“Nabi mengakikahi dirinya setelah diutus menjadi nabi.”
Hadits ini disampaikan oleh sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu. Ada tiga rantai sanad yang sampai kepada sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu.
a. Al-Haitsam bin Jamil dari Abdullah bin al-Mutsanna, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik z.
Jalur ini diriwayatkan oleh ath-Thahawi, ath-Thabarani, Ibnu Hazm, adh-Dhiya’ al-Maqdisi, Abu asy-Syaikh, dan Ibn A’yan.
b. Isma’il bin Muslim, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abu asy-Syaikh.
c. Abdullah bin al-Muharrar, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ibnu Hibban, al-Bazzar, dan Ibnu Adi.
Hadits ini disampaikan oleh sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu. Ada tiga rantai sanad yang sampai kepada sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu.
a. Al-Haitsam bin Jamil dari Abdullah bin al-Mutsanna, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik z.
Jalur ini diriwayatkan oleh ath-Thahawi, ath-Thabarani, Ibnu Hazm, adh-Dhiya’ al-Maqdisi, Abu asy-Syaikh, dan Ibn A’yan.
b. Isma’il bin Muslim, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abu asy-Syaikh.
c. Abdullah bin al-Muharrar, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ibnu Hibban, al-Bazzar, dan Ibnu Adi.
Untuk rantai sanad yang pertama, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Ini adalah sanad yang hasan, para rawinya adalah orang-orang yang yang telah dijadikan hujah (para periwayat tepercaya) dalam Shahih al-Bukhari, selain al-Haitsam bin Jamil. Beliau (al-Haitsam bin Jamil) sendiri adalah seorang yang tsiqah (tepercaya) dan hafizh (penghafal hadits), salah seorang guru al-Imam Ahmad rahimahullah.
Selanjutnya, Abdullah bin al-Mutsanna, beliau adalah salah seorang periwayat dalam Shahih al-Bukhari, artinya al-Bukhari rahimahullah menganggap bahwa Abdullah bin al-Mutsanna termasuk tepercaya. Namun, ternyata ada ulama lain yang membicarakan Abdullah bin al-Mutsanna ini. Karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mendudukkan perselisihan ini dengan kesimpulan bahwa al-Bukhari rahimahullah hanya memercayai sepenuhnya Abdullah bin al-Mutsanna apabila dia meriwayatkan dari pamannya. Jika tidak, al-Bukhari tidak bertumpu pada riwayatnya. Alhamdulillah, ternyata hadits yang kita bahas ini beliau riwayatkan dari pamannya, Tsumamah bin Anas, sehingga sesuai dengan syarat al-Bukhari dalam hal ini.
Selanjutnya, Abdullah bin al-Mutsanna, beliau adalah salah seorang periwayat dalam Shahih al-Bukhari, artinya al-Bukhari rahimahullah menganggap bahwa Abdullah bin al-Mutsanna termasuk tepercaya. Namun, ternyata ada ulama lain yang membicarakan Abdullah bin al-Mutsanna ini. Karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mendudukkan perselisihan ini dengan kesimpulan bahwa al-Bukhari rahimahullah hanya memercayai sepenuhnya Abdullah bin al-Mutsanna apabila dia meriwayatkan dari pamannya. Jika tidak, al-Bukhari tidak bertumpu pada riwayatnya. Alhamdulillah, ternyata hadits yang kita bahas ini beliau riwayatkan dari pamannya, Tsumamah bin Anas, sehingga sesuai dengan syarat al-Bukhari dalam hal ini.
a) Mengenai rantai sanad yang kedua, terkhusus adanya perawi yang bernama Ismail bin Muslim, maka asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Semacam sanad tersebut bisa dijadikan pendukung sehingga hadits semakin kuat dengannya.”
Tentang Ismail bin Muslim ini, Abu Hatim—beliau termasuk ulama yang keras dalam mencacat para rawi—mengatakan, “Ismail bin Muslim tidak ditinggalkan, haditsnya dapat ditulis,” yakni untuk dukungan.
Tentang Ismail bin Muslim ini, Abu Hatim—beliau termasuk ulama yang keras dalam mencacat para rawi—mengatakan, “Ismail bin Muslim tidak ditinggalkan, haditsnya dapat ditulis,” yakni untuk dukungan.
Ibnu Sa’d rahimahullah mengatakan, “Dia adalah orang yang diperhitungkan pendapat dan fatwanya, memiliki pandangan dan hafalan terhadap hadits. Karena itu, aku dahulu menulis hadits darinya karena kecerdasannya.”
Adapun Qatadah, maka jelas seorang ulama yang terkenal dan yang tepercaya.
Adapun Qatadah, maka jelas seorang ulama yang terkenal dan yang tepercaya.
b) Mengenai rantai sanad yang ketiga, para ulama melemahkannya karena kelemahan perawinya, yaitu Abdullah bin al-Muharrar.
Dari pemaparan singkat tentang hadits ini, tampak bahwa hadits ini sahih atau hasan. Di antara ulama yang menganggap kuatnya hadits ini dari ulama terdahulu adalah adalah adh-Dhiya’ al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya al-Mukhtarah, Abdul Haq al-Isybili dalam kitabnya al-Ahkam, dan Abu Zur’ah al-Iraqi dalam kitabnya Tharhu Tatsrib.
Menurut asy-Syaikh al-Albani, bisa juga dikatakan bahwa Ibnu Hazm dan ath-Thahawi termasuk yang menerima hadits ini karena mereka menyebutkan sanadnya tanpa mengkritiknya.
Dari pemaparan singkat tentang hadits ini, tampak bahwa hadits ini sahih atau hasan. Di antara ulama yang menganggap kuatnya hadits ini dari ulama terdahulu adalah adalah adh-Dhiya’ al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya al-Mukhtarah, Abdul Haq al-Isybili dalam kitabnya al-Ahkam, dan Abu Zur’ah al-Iraqi dalam kitabnya Tharhu Tatsrib.
Menurut asy-Syaikh al-Albani, bisa juga dikatakan bahwa Ibnu Hazm dan ath-Thahawi termasuk yang menerima hadits ini karena mereka menyebutkan sanadnya tanpa mengkritiknya.
Adapun para ulama yang menganggap lemah hadits ini, di antaranya al-Imam Ahmad dan al-Baihaqi yang mengatakan hadits ini mungkar, juga an-Nawawi yang mengatakan batil, sesungguhnya mereka melemahkan hadits ini dari jalur rantai sanad yang ketiga. Dengan demikian, pendapat yang membolehkan mengakikahi diri sendiri adalah pendapat yang rajih (kuat).
Ini adalah pendapat Atha’, al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad, dan asy-Syaukani menggantungkan pendapat ini dengan kesahihan hadits. Alhamdulillah, hadits ini sahih. (lihat al-Mufashshal fi Ahkamil Aqiqah hlm. 96)
Al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu belum diakikahi, akikahilah dirimu walaupun kamu lelaki.” Kata beliau, ‘walaupun kamu lelaki’ karena ada yang mengkhususkan hukum ini bagi wanita.
Al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu belum diakikahi, akikahilah dirimu walaupun kamu lelaki.” Kata beliau, ‘walaupun kamu lelaki’ karena ada yang mengkhususkan hukum ini bagi wanita.
Muhammad bin Sirrin rahimahullah mengatakan, “Seandainya aku tahu bahwa aku belum diakikahi, tentu aku akan mengakikahi diriku.” (ash-Shahihah 6/506 qism 1)
Pendapat yang kedua, yang melarang, adalah pendapat Malikiah. Al-Imam Malik sendiri ada beberapa riwayat yang berbeda dalam hal ini. (at-Tamhid , 4/312)
Pendapat yang kedua, yang melarang, adalah pendapat Malikiah. Al-Imam Malik sendiri ada beberapa riwayat yang berbeda dalam hal ini. (at-Tamhid , 4/312)
Sebagian ulama yang cenderung kepada pendapat ini mengatakan bahwa seandainya hadits ini sahih, bisa jadi ini adalah kekhususan bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, sanggahan seperti ini lemah karena kekhususan itu harus berdasarkan dalil, sementara itu di sini tidak ada dalil yang mengkhususkan hal ini untuk beliau.
2. Mengakikahi selain hari ketujuh.
Dalam hal ini ada tiga pendapat sebagaimana disebutkan oleh Abu Zurah al-Iraqi dalam kitab Tharhu at-Tatsrib. Namun, dengan mengetahui persoalan pertama, yaitu bolehnya seseorang mengakikahi dirinya, tampak jelas bahwa diperbolehkan mengakikahi setelah hari ketujuh. Walaupun tentu sangat ditekankan untuk melakukannya pada hari ketujuh saat ada kemampuan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Dalam hal ini ada tiga pendapat sebagaimana disebutkan oleh Abu Zurah al-Iraqi dalam kitab Tharhu at-Tatsrib. Namun, dengan mengetahui persoalan pertama, yaitu bolehnya seseorang mengakikahi dirinya, tampak jelas bahwa diperbolehkan mengakikahi setelah hari ketujuh. Walaupun tentu sangat ditekankan untuk melakukannya pada hari ketujuh saat ada kemampuan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ
“Tiap anak itu tergadai dengan akikahnya yang disembelih pada hari ketujuh.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
Di antara yang berpendapat bolehnya setelah hari ke-7 adalah Ibnu Sirin, asy-Syafi’i, Ibnu Hazm, dan yang lain.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Yang tampak, pengaitan akikah dengan hari ketujuh adalah sunnah. Jadi, sah saja apabila menyembelih pada hari ke-4, ke-8, ke-10, atau setelahnya. Penentuan waktu ini adalah untuk penyembelihannya, bukan untuk memasak atau memakannya.” (Tuhfatul Maudud hlm. 76)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Yang tampak, pengaitan akikah dengan hari ketujuh adalah sunnah. Jadi, sah saja apabila menyembelih pada hari ke-4, ke-8, ke-10, atau setelahnya. Penentuan waktu ini adalah untuk penyembelihannya, bukan untuk memasak atau memakannya.” (Tuhfatul Maudud hlm. 76)
Adapun Ibnu Hazm rahimahullah tidak membolehkan sebelum hari ketujuh.
Apakah penyembelihan itu pada hari kapan saja ataukah tiap kelipatan ketujuh?
Tampaknya, kapan saja boleh karena riwayat yang menyebutkan kelipatan ketujuh adalah lemah, sebagaimana telah diterangkan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam kitab al-Irwa’ (4/395).
Apakah penyembelihan itu pada hari kapan saja ataukah tiap kelipatan ketujuh?
Tampaknya, kapan saja boleh karena riwayat yang menyebutkan kelipatan ketujuh adalah lemah, sebagaimana telah diterangkan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam kitab al-Irwa’ (4/395).
3. Hanya memiliki satu ekor kambing untuk akikah anak lelaki.
Dalam hal ini hendaknya ia menunggu sampai memiliki dua ekor kambing, dan tidak menyembelih terlebih dahulu kambing yang dia miliki. Hal ini berdasarkan sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam,
Dalam hal ini hendaknya ia menunggu sampai memiliki dua ekor kambing, dan tidak menyembelih terlebih dahulu kambing yang dia miliki. Hal ini berdasarkan sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam,
عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ
“Untuk anak lelaki dua ekor kambing yang mukafi’ataan.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Mukafi’atan dalam hadits ini ditafsirkan dengan beberapa penafsiran, di antaranya adalah mutaqaribatan, yakni seimbang.
Ada pula yang menafsirkan, ‘disembelih bersamaan’. Dawud bin Qais pernah bertanya kepada Zaid bin Aslam, ia mengatakan, “Aku bertanya kepada Zaid bin Aslam tentang makna mukafi’atan.” Beliau menjawab, “Dua kambing yang mirip, yang disembelih bersama-sama.” (Musykilul Atsar karya ath-Thahawi)
Mukafi’atan dalam hadits ini ditafsirkan dengan beberapa penafsiran, di antaranya adalah mutaqaribatan, yakni seimbang.
Ada pula yang menafsirkan, ‘disembelih bersamaan’. Dawud bin Qais pernah bertanya kepada Zaid bin Aslam, ia mengatakan, “Aku bertanya kepada Zaid bin Aslam tentang makna mukafi’atan.” Beliau menjawab, “Dua kambing yang mirip, yang disembelih bersama-sama.” (Musykilul Atsar karya ath-Thahawi)
Fatwa al-Lajnah ad-Daimah tentang Akikah Janin yang Gugur dan Bayi yang Meninggal
Pertanyaan :
Janin yang gugur dari kandungan yang telah jelas bahwa dia laki-laki atau perempuan, apakah diakikahi atau tidak? Demikian juga bayi yang terlahir apabila meninggal beberapa hari setelah kelahiran sementara belum diakikahi saat dia hidup, apakah diakikahi setelah kematiannya atau tidak? Apabila telah lewat satu bulan, dua bulan, setengah tahun, satu tahun, atau bahkan lebih dari saat lahirnya bayi dan ia belum diakikahi, apakah diakikahi atau tidak?
Janin yang gugur dari kandungan yang telah jelas bahwa dia laki-laki atau perempuan, apakah diakikahi atau tidak? Demikian juga bayi yang terlahir apabila meninggal beberapa hari setelah kelahiran sementara belum diakikahi saat dia hidup, apakah diakikahi setelah kematiannya atau tidak? Apabila telah lewat satu bulan, dua bulan, setengah tahun, satu tahun, atau bahkan lebih dari saat lahirnya bayi dan ia belum diakikahi, apakah diakikahi atau tidak?
Jawab:
Mayoritas para ulama berpendapat bahwa akikah adalah sunnah, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari, dan Ashhabus Sunan dari Salman bin Amir, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata,
Mayoritas para ulama berpendapat bahwa akikah adalah sunnah, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari, dan Ashhabus Sunan dari Salman bin Amir, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata,
مَعَ الْغُ مَالِ عَقِيْقَةٌ فَأُهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا، وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى
“Bersama seorang anak itu akikahnya, maka tumpahkan darah untuk (akikahnya) dan hilangkan rambut (kepalanya).”
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh al-Hasan dari Samurah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh al-Hasan dari Samurah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّ غُ مَالٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ، وَيُحْلَقُ، وَيُسَمَّى
“Tiap anak itu tergadai dengan akikahnya yang disembelih pada hari ketujuh, digundul, dan diberi nama.” (HR. Ahmad dan Ashhabussunan, dan dinyatakan sahih oleh at-Tirmidzi)
Demikian pula hadits itu yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يُنْسِكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ، عَنِ الْغُ مَالِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Barang siapa di antara kalian ingin mengakikahi anaknya, lakukanlah. Untuk anak laki-lakinya dua ekor kambing yang seimbang dan untuk anak perempuannya satu ekor kambing.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dengan sanad yang hasan)
Tidak ada akikah untuk janin yang gugur walaupun telah jelas apakah itu laki-laki atau perempuan, apabila gugur sebelum ditiupkan ruh padanya, karena dia tidak disebut anak atau bayi. Adapun akikah disembelih pada hari ketujuh dari kelahiran, apabila janin dilahirkan dalam keadaan hidup, lalu mati sebelum hari ketujuh, maka disunnahkan untuk diakikahi pada hari ketujuh dan diberi nama. Apabila lewat hari yang ketujuh dan belum diakikahi, Sebagian fuqaha berpendapat bahwa tidak disunnahkan untuk diakikahi setelahnya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan waktunya pada hari ketujuh.
Sementara itu, ulama mazhab Hanbali dan sekelompok ahli fikih berpendapat bahwa disunnahkan untuk diakikahi walaupun telah lewat satu bulan, satu tahun, atau lebih, dari kelahirannya, berdasarkan keumuman hadits-hadits dan berdasarkan apa yang diriwayatkan al-Baihaqi dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengakikahi dirinya setelah kenabian, dan ini pendapat yang lebih hati-hati.
Allah Subhanahu wata’ala lah yang memberi taufik. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada nabi kita Muhammad n, keluarga, dan para sahabatnya.
Allah Subhanahu wata’ala lah yang memberi taufik. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada nabi kita Muhammad n, keluarga, dan para sahabatnya.
Komisi Tetap untuk Kajian Ilmiah dan Fatwa
Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz; Wakil: Abdurrazzaq Afifi; Anggota: Abdullah Ghudayyan.
Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz; Wakil: Abdurrazzaq Afifi; Anggota: Abdullah Ghudayyan.
http://asysyariah.com/problema-anda/
0 komentar:
Posting Komentar