Orang yang Mendapatkan Keringanan untuk Tidak Berpuasa

Posted On // Leave a Comment
๐Ÿ’๐Ÿ“Orang yang Mendapatkan Keringanan untuk Tidak Berpuasa

Beberapa pihak yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, di antaranya adalah:

1. Orang yang sudah sangat tua dan tidak mampu berpuasa
2. Musafir
3. Sakit yang tidak memungkinkan berpuasa
4. Wanita hamil atau menyusui

Bagi yang mendapatkan udzur syar’i untuk tidak berpuasa, ada 2 cara :
a. Mengganti di hari lain sebelum datang Ramadhan berikutnya
b. Membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Boleh dalam bentuk bahan makanan pokok belum masak, atau sudah siap saji (matang). Jika membayar dalam bentuk makanan pokok mentah, maka takarannya adalah setengah sho’ (sekitar 1,5 kg) per hari yang ditinggalkan.  

Berikut ini akan dijelaskan tentang siapa saja yang harus mengganti di hari lain dan siapa saja yang harus membayar fidyah.

✅Orang yang Sudah Sangat Tua dan Tidak Mampu Berpuasa

Orang yang sudah sangat tua dan tidak kuat berpuasa, membayar fidyah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Sahabat Nabi Anas bin Malik di masa tuanya.
Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata:

ุงู„ุดَّูŠْุฎُ ุงู„ْูƒَุจِูŠุฑُ ูˆَุงู„ْู…َุฑْุฃَุฉُ ุงู„ْูƒَุจِูŠุฑَุฉُ ู„َุง ูŠَุณْุชَุทِูŠุนَุงู†ِ ุฃَู†ْ ูŠَุตُูˆู…َุง ูَูŠُุทْุนِู…َุงู†ِ ู…َูƒَุงู†َ ูƒُู„ِّ ูŠَูˆْู…ٍ ู…ِุณْูƒِูŠู†ًุง

Orang laki-laki yang sudah tua dan wanita yang sudah tua renta yang tidak mampu berpuasa, maka mereka memberi makan setiap hari (yang ditinggalkan) satu orang miskin (riwayat al-Bukhari no 4145)

Namun, seseorang yang sudah tua dan pikun total sehingga tidak ingat apa-apa lagi, maka keadaannya seperti orang yang tidak berakal, sehingga tidak terkena kewajiban puasa. Tidak perlu membayar fidyah (Majaalis Syahri Romadhon libni Utsaimin halaman 28) 

✅Musafir

Seorang musafir boleh untuk tetap berpuasa atau memilih untuk tidak berpuasa. Jika ia memilih untuk tidak berpuasa, maka ia harus mengganti di hari lain sebelum datang Ramadhan berikutnya.

Manakah yang lebih utama bagi musafir, tetap berpuasa atau tidak berpuasa?
Jawabannya: tergantung keadaannya pada waktu itu.

Jika ia dalam kondisi kuat, tidak berpengaruh terhadap aktifitasnya, maka sebaiknya ia tetap berpuasa. Karena lebih baik baginya untuk tetap berpuasa di bulan yang penuh kebaikan, yaitu Ramadhan, dan juga memudahkan baginya karena lebih banyak orang yang juga berpuasa seperti dia. Dalam salah satu perjalanan (safar) jihad yang diikuti Nabi dan para Sahabatnya, semua orang memilih untuk tidak berpuasa, kecuali Nabi dan Abdullah bin Rowaahah. Hal itu menunjukkan bahwa Nabi memilih sesuatu yang lebih utama, saat beliau kuat berpuasa dalam kondisi safar.

ุนَู†ْ ุฃَุจِูŠ ุงู„ุฏَّุฑْุฏَุงุกِ ุฑَุถِูŠَ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู†ْู‡ُ ู‚َุงู„َ ุฎَุฑَุฌْู†َุง ู…َุนَ ุฑَุณُูˆู„ِ ุงู„ู„َّู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ูِูŠ ุดَู‡ْุฑِ ุฑَู…َุถَุงู†َ ูِูŠ ุญَุฑٍّ ุดَุฏِูŠุฏٍ ุญَุชَّู‰ ุฅِู†ْ ูƒَุงู†َ ุฃَุญَุฏُู†َุง ู„َูŠَุถَุนُ ูŠَุฏَู‡ُ ุนَู„َู‰ ุฑَุฃْุณِู‡ِ ู…ِู†ْ ุดِุฏَّุฉِ ุงู„ْุญَุฑِّ ูˆَู…َุง ูِูŠู†َุง ุตَุงุฆِู…ٌ ุฅِู„َّุง ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„َّู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ูˆَุนَุจْุฏُ ุงู„ู„َّู‡ِ ุจْู†ُ ุฑَูˆَุงุญَุฉَ

Dari Abud Darda’ radhiyallahu anhu beliau berkata: Kami pernah keluar (safar) bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pada bulan Ramadhan yang terik panas. Sampai-sampai salah seorang dari kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena demikian panasnya. Tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan Abdullah bin Rowaahah (H.R Muslim no 1892 dan 1893)

Namun, jika dalam safar tersebut dibutuhkan tenaga dan stamina yang prima yang tidak bisa dicapai kecuali dengan tidak berpuasa sedangkan keperluan yang dihadapi sangat penting, maka sebaiknya tidak berpuasa. 

Dalam salah satu safar (jihad), Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pernah memuji para Sahabat yang memilih untuk tidak berpuasa dan berperan aktif dalam membantu saudara-saudaranya yang berpuasa dan lemah kondisinya dengan menegakkan tenda dan memberi minum pada hewan-hewan tunggangannya. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

ุฐَู‡َุจَ ุงู„ْู…ُูْุทِุฑُูˆู†َ ุงู„ْูŠَูˆْู…َ ุจِุงู„ْุฃَุฌْุฑِ  

Orang-orang yang berbuka (tidak puasa) pada hari ini pergi dengan membawa pahala… (H.R al-Bukhari no 2676 dan Muslim no 1886 dan 1887 dari Anas bin Malik)

Bahkan, dalam kondisi tertentu, seorang yang safar harus berbuka, tidak boleh berpuasa, ketika kondisi dia lemah dan tidak kuat. Nabi pernah melihat seseorang yang pingsan dan diberi naungan oleh para Sahabat lain. Saat ditanya, ternyata dia waktu itu berpuasa. Nabi kemudian bersabda:

ู„َูŠْุณَ ู…ِู†َ ุงู„ْุจِุฑِّ ุงู„ุตَّูˆْู…ُ ูِูŠ ุงู„ุณَّูَุฑِ

Tidaklah termasuk kebaikan, puasa di waktu safar (H.R alBukhari no 1810 dan Muslim no 1879 dari Jabir bin Abdillah)

Artinya, tidak ada kebaikan bagi yang berpuasa dalam keadaan safar hingga memberatkan dirinya dan menimbulkan kemudharatan bagi dirinya.

Jarak safar menurut pendapat sebagian Ulama adalah minimal 80 km.

✅Sakit yang Tidak Memungkinkan Berpuasa

Jika seseorang sakit yang tidak memungkinkan berpuasa, menurut keterangan dokter yang ahli dan terpercaya, maka ia boleh untuk tidak berpuasa. Jika sakitnya bukan sakit yang permanen, ia bisa mengganti di hari lain sebelum masuk Ramadhan berikutnya.

ูˆَู…َู†ْ ูƒَุงู†َ ู…َุฑِูŠุถًุง ุฃَูˆْ ุนَู„َู‰ ุณَูَุฑٍ ูَุนِุฏَّุฉٌ ู…ِู†ْ ุฃَูŠَّุงู…ٍ ุฃُุฎَุฑَ

…dan barangsiapa yang sakit atay safar, maka mengganti sejumlah bilangan hari yang ditinggalkan) di hari lain (Q.S al-Baqoroh:185)

Namun, jika ia sakit yang terus menerus dan tidak memungkinkan mengganti puasa di hari lain, maka ia membayar fidyah. Hukumnya dianggap sama dengan hukum orang tua yang sudah tidak mampu lagi berpuasa seterusnya.

Sebagian Tabi’in, seperti al-Hasan al-Bashri memberikan batasan sakit yang boleh untuk tidak berpuasa adalah jika sakitnya menyebabkan ia tidak bisa sholat dalam keadaan berdiri.

✅Wanita Hamil atau Menyusui

Wanita hamil atau menyusui, apakah yang harus dilakukan jika tidak berpuasa? Mengganti di hari lain atau membayar fidyah?
Secara asal, jika mampu melaksanakan puasa, ibu hamil atau menyusui tetap berpuasa. Namun, jika tidak mampu karena kondisi fisiknya lemah atau mengkhawatirkan kondisi anak (janin atau yang disusui), ada keringanan bagi mereka untuk tidak berpuasa. Bagaimana jika mereka berpuasa? Apakah mengganti di hari lain atau membayar fidyah?

Permasalahan ini termasuk yang menjadi ranah perbedaan pendapat para Ulama. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang shahih dan shorih (tegas) dalam alQuran atau hadits sebagai pemutus perkara. Tidak mengherankan jika sulitnya permasalahan ini menyebabkan seseorang bisa berubah pendapat dari satu pendapat ke pendapat lain.  

Ada dalil hadits yang shahih dari Nabi, namun tidak shorih (tegas), yaitu hadits:

ุฅِู†َّ ุงู„ู„َّู‡َ ุนَุฒَّ ูˆَุฌَู„َّ ูˆَุถَุนَ ุนَู†ِ ุงู„ْู…ُุณَุงูِุฑِ ุดَุทْุฑَ ุงู„ุตَّู„َุงุฉِ ูˆَุนَู†ِ ุงู„ْู…ُุณَุงูِุฑِ ูˆَุงู„ْุญَุงู…ِู„ِ ูˆَุงู„ْู…ُุฑْุถِุนِ ุงู„ุตَّูˆْู…َ 

Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla meletakkan (keringanan) pada musafir (untuk mengerjakan) setengah sholat dan (keringanan) bagi musafir, wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa (H.R Abu Dawud, Ibnu Majah dari Abdullah bin Ka’ab)

Dalam hadits ini Allah menggandengkan penyebutan musafir dengan wanita hamil dan menyusui. Apakah maksud penggandengan ini? Apakah karena sekedar sama-sama boleh tidak berpuasa, atau karena mereka semua dituntut untuk mengganti di hari lain jika tidak berpuasa? Di sini tidak tegas dipastikan. 

Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah termasuk yang berdalil dengan hadits itu untuk menunjukkan bahwa seorang wanita yang hamil dan menyusui mengganti puasanya di hari lain (sebagaimana musafir juga mengganti di hari lain). Namun, dalam salah satu ceramah pelajaran syarh Zaadil Mustaqni’ yang tidak termaktub dalam kitab asy-Syarhul Mumti’, beliau pernah ditanya tentang seorang wanita yang secara berturut-turut mengalami hamil dan menyusui, sehingga menyulitkan mengganti puasa. Beliau menganjurkan untuk membayar fidyah.

Insyaallah pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah membayar fidyah (memberi makan orang miskin sejumlah hari yang tidak berpuasa). Hal ini berdasarkan atsar 2 Sahabat Nabi yang mulia: Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu anhuma.

Ibnu Abbas menyatakan:

ุฅุฐุง ุฎุงูุช ุงู„ุญุงู…ู„ ุนู„ู‰ ู†ูุณู‡ุง ูˆุงู„ู…ุฑุถุน ุนู„ู‰ ูˆู„ุฏู‡ุง ููŠ ุฑู…ุถุงู† ู‚ุงู„ : ูŠูุทุฑุงู† ูˆูŠุทุนู…ุงู† ู…ูƒุงู† ูƒู„ ูŠูˆู… ู…ุณูƒูŠู†ุง ูˆู„ุง ูŠู‚ุถูŠุงู† ุตูˆู…ุง 

Jika seorang wanita hamil mengkhawatirkan atas dirinya dan seorang wanita menyusui (mengkhawatirkan) anaknya di (bulan) Ramadhan, maka mereka berdua berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan tiap hari (yang tidak berpuasa) 1 orang miskin. Mereka berdua tidak perlu mengganti puasa (riwayat atThobariy dalam tafsirnya dan dinyatakan sanadnya shahih sesuai syarat Muslim oleh Syaikh al-Albaniy dalam Irwaaul Gholil)

ุนَู†ِ ุงุจْู†ِ ุนَุจَّุงุณٍ: ุฃَู†َّู‡ُ ุฑَุฃَู‰ ุฃู…َّ ูˆَู„َุฏٍ ู„َู‡ُ ุญَุงู…ِู„ุงً ุฃَูˆْ ู…ُุฑْุถِุนًุง، ูَู‚َุงู„َ: ุฃَู†ْุชِ ุจِู…َู†ْุฒِู„َุฉ ِุงู„َّุฐِูŠ ู„َุง ูŠُุทِูŠْู‚ُู‡ُ، ุนَู„َูŠْูƒِ ุฃَู†ْ ุชُุทْุนِู…ِูŠ ู…َูƒَุงู†َ ูƒُู„ِّ ูŠَูˆْู…ٍ ู…ِุณْูƒِูŠู†ًุง، ูˆَู„َุง ู‚َุถَุงุกَ ุนَู„َูŠْูƒِ

Dari Ibnu Abbas bahwasanya ia melihat Ummu Walad (hamba sahaya yang melahirkan anak) miliknya hamil atau menyusui. Maka ia berkata: Engkau kedudukannya seperti orang yang tidak mampu (berpuasa). Hendaknya engkau memberi makan setiap hari (yang tidak berpuasa) 1 orang miskin. Dan engkau tidak harus mengganti (puasa di hari lain) (riwayat atThobariy dalam Tafsirnya)

ุนู† ุจู† ุนู…ุฑ : ุฃู† ุงู…ุฑุฃุชู‡ ุณุฃู„ุชู‡ ูˆู‡ูŠ ุญุจู„ู‰ ูู‚ุงู„ ุฃูุทุฑูŠ ูˆุฃุทุนู…ูŠ ุนู† ูƒู„ ูŠูˆู… ู…ุณูƒูŠู†ุง ูˆู„ุง ุชู‚ุถูŠ 

Dari Ibnu Umar –semoga Allah meridhainya- bahwasanya istrinya pernah bertanya kepadanya saat hamil, dan Ibnu Umar berkata: Berbukalah dan berikan makan setiap hari seorang miskin dan janganlah mengganti (puasa di hari lain) (riwayat ad-Daaraquthniy, Syaikh al-Albaniy menyatakan sanadnya jayyid dalam Irwaul Gholil)

Sebagian Ulama menjelaskan bahwa membayar fidyah (memberi makan) kepada orang miskin bisa dalam bentuk makanan pokok mentah atau masakan matang. Jika makanan pokok, kadarnya adalah setengah sho’ (sekitar 1,5 kg).

Wallaahu A’lam

(dikutip dari buku "Ramadhan Bertabur Berkah", Abu Utsman Kharisman, penerbit Pena Hikmah Yogya)

๐Ÿ’ก๐Ÿ’ก๐Ÿ“๐Ÿ“๐Ÿ’ก๐Ÿ’ก
WA al I'tishom

0 komentar:

Posting Komentar