Karier Wanita Mesti Syar’i
Al-Ustadz Abu Bakar Abdurrahman
Siapa bilang wanita dilarang berkarier?
Pembaca Qonitah yang dimuliakan Allah, perlu kita dudukkan permasalahan ini dengan dasar syariat.
Sebelum mencari jawaban tentang permasalahan ini, kita perlu mengetahui terlebih dahulu arti karier. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Widya Karya, Semarang, disebutkan bahwa di antara makna karier adalah perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan, dan sebagainya. Dari makna di atas, inilah pertanyaan kita: bolehkah wanita bekerja?
Pembaca yang dimuliakan Allah, pada rubrik Silsilah Hadits kali ini penulis mengetengahkan sebuah hadits sebagai dasar jawaban pertanyaan di atas.
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَسْرَعُكُنَّ لَحَاقًا بِي أَطْوَلُكُنَّ يَدًا. قَالَتْ: فَكُنَّ يَتَطَاوَلْنَ أَيَّتُهُنَّ أَطْوَلُ يَدًا. قَالَتْ: أَطْوَلُنَا يَدًا زَيْنَبُ، لِأَنَّهَا كَانَتْ تَعْمَلُ بِيَدِهَا وَتَصَدَّقُ.
Dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia menuturkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, “Orang yang paling cepat menyusulku (meninggal setelahku) di antara kalian (para istri Nabi) adalah yang paling panjang tangannya.” ‘Aisyah berkata, “Kami pun mengukur tangan kami, siapakah yang paling panjang tangannya. Ternyata, yang paling panjang tangannya di antara kami adalah Zainab karena dia bekerja dengan tangannya sendiri dan bersedekah dengan hasil pekerjaannya.” (HR. Muslim no. 2452)
An-Nawawi t berkata, “Makna hadits ini ialah para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam menyangka bahwa arti panjang tangan adalah panjang tangan anggota tubuh. Oleh karena itulah, mereka saling mengukur tangan mereka dengan alat ukur semacam bambu, dan didapati bahwa tangan Saudahlah yang paling panjang ukurannya. Sementara itu, Zainab paling panjang tangannya dalam hal sedekah (paling sering bersedekah) dan melakukan perbuatan baik, sehingga Zainablah yang pertama wafat di antara mereka. Setelah itu, barulah mereka memahami bahwa yang dimaksud dengan panjang tangan adalah rajin bersedekah dan dermawan.”
Secara jelas hadits ini menunjukkan bahwa Zainab adalah sesosok wanita yang mulia dan mempunyai karier. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memujinya karena dengan pekerjaannya ia bisa bersedekah dan bersifat dermawan.
Inilah pekerjaan yang berbarakah, pekerjaan yang bukan semata-mata untuk mengumpulkan harta benda dan berbangga-bangga dengannya. Karier yang seperti inilah yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, bahkan beliau perintahkan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda,
عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ. قَالُوا: فَإِنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: فَيَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ.
“Setiap muslim harus bersedekah.” Orang-orang bertanya, “Jika dia tidak mendapati sesuatu?” Beliau bersabda, “Hendaklah dia bekerja dengan kedua tangannya sehingga bisa memberikan manfaat kepada dirinya sendiri dan bersedekah.” (HR. al-Bukhari no. 78 dalam hadits yang panjang)
Mencari nafkah adalah keharusan bagi pria untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Bahkan, terkadang seorang ibu harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan anak-anaknya.
Ada sebuah kasus di Amerika, seorang wanita yang tidak ada seorang pun yang mau membiayai hidupnya sehingga dia pun harus bekerja. Namun, sangat disayangkan, pekerjaan memaksanya untuk melepas jilbab. Ditanyakanlah kasus ini kepada al-Lajnah ad-Daimah (Lembaga Ulama Saudi Arabia). Berikut penulis bawakan pertanyaannya sekaligus jawaban yang disampaikan oleh para ulama.
“Ada seorang wanita berkewarganegaraan Amerika. Dia tidak mempunyai orang yang menanggung biaya hidupnya. Terpaksalah dia bekerja tanpa hijab (pakaian yang menutupi auratnya) walaupun di luar jam kerja dia pakai lagi hijabnya. Bagaimanakah hukum hal yang seperti ini?”
Dijawab bahwa tidak boleh seorang wanita muslimah bekerja di suatu tempat yang terdapat padanya campur baur antara pria dan wanita. Yang wajib baginya adalah berpegang teguh pada hijab yang disyariatkan dan menghindari tempat berkumpulnya pria. Hendaklah dia mencari pekerjaan yang mubah (halal) yang tidak ada sedikit pun padanya hal yang diharamkan Allah. Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah pasti memberinya ganti yang lebih baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar dan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak dia sangka-sangka.” Wabillahi at-taufiq wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam (Fatwa no. 19504).
Mengambil pelajaran dari kejadian ini, tentunya kita sebagai muslim ikut bersedih hati atas ujian yang menimpa wanita ini. Yang kedua, kita meneladani sikap wanita ini dari sisi kejujuran dan kepeduliannya akan agamanya sehingga dalam hatinya ada keraguan terhadap perbuatannya, kemudian dia mau bertanya tentang masalahnya kepada para ulama. Yang ketiga, hendaknya kita mencari fatwa dari ulama rabbani. Sungguh, telah tepat tindakan wanita ini dalam mencari fatwa. Seandainya pertanyaan ini ditujukan bukan kepada ulama rabbani, tentu akan dijawab dengan jawaban yang menyelisihi syariat, seperti jawaban ulama su’ (ulama yang jelek) yang membolehkan ikhtilath (campur baur antara lelaki dan perempuan), atau jawaban sebagian dai yang mengaku berilmu, yang memfatwakan bolehnya membuka jilbab dengan alasan pekerjaan karena darurat, atau jawaban lain yang menyimpang dari aturan agama. Yang terakhir, kita berdoa kepada Allah agar wanita ini diberi kemudahan dalam mencari pekerjaan dan rezeki yang halal.
Adapun dari jawaban para ulama ini, kita bisa mengambil beberapa pelajaran. Di antaranya:
Pada dasarnya, wanita boleh berkarier dengan beberapa ketentuan, di antaranya pekerjaan wanita tersebut jauh dari hal-hal yang diharamkan. Ketentuan ini juga berlaku bagi kaum pria.
Termasuk hal yang diharamkan bagi wanita bekerja adalah membuka hijab dan bercampur baur dengan kaum pria.
Hendaklah kita selalu bertakwa agar segala urusan kita dimudahkan.
Pada fatwa nomor 6491, al-Lajnah ad-Daimah juga berfatwa yang isinya, “Apabila pekerjaan wanita itu di lingkungan para wanita, tidak ada campur baur ataupun khalwat dengan pria yang bukan mahram, dan pekerjaan itu diizinkan oleh suaminya, boleh baginya melakukan pekerjaannya.” Pada fatwa ini terdapat tambahan syarat bolehnya wanita berkarier, yaitu izin suami.
Pembaca Qonitah yang dimuliakan Allah, perlu Anda mengetahui beberapa aktivitas kaum wanita pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Berikut kami bawakan beberapa contoh.
Secara garis besar, pekerjaan wanita pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam diklasifikasikan menjadi empat macam.
Pertama, mengobati dan merawat luka-luka para pejuang Islam. Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berperang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita Anshar. Mereka (para wanita ini) bertugas memberi minum para pejuang dan mengobati orang-orang yang terluka.”
Ummu Sulaim juga menuturkan, “Dahulu saya ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam sebanyak tujuh kali. Saya berada di barisan belakang pasukan; bertugas memasak dan mengobati serta merawat orang-orang yang sakit.” (HR. Muslim no. 1812)
Sudah dipastikan bahwa pada peperangan itu para wanita keluar bersama suami-suami atau para mahram mereka.
Kedua, bekerja di kebun. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Asma’ bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Saya dinikahi oleh Zubair. Dia orang yang tidak memiliki harta dan budak, kecuali seekor unta dan seekor kuda. Sayalah orang yang memberi makan dan minum kuda tersebut. Bahkan, sayalah yang mengambil air dengan timba, dan saya pula yang mengadon tepung untuk roti.” (Lihat Shahih al-Bukhari no. 4926)
Masih kata Asma’, “Saya memikul biji-bijian di atas kepala saya, dari tanah milik Zubair yang berjarak dua pertiga farsakh (kurang lebih 5 km) dari rumah saya.”
Diriwayatkan pula dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Bibiku adalah wanita yang ditalak oleh suaminya. Pada suatu hari dia ingin memanen pohon kurmanya. Tiba-tiba ada seseorang yang melarangnya keluar dari rumah. Kemudian, dia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam untuk menanyakan hal itu. Rasulullah pun menjawab, ‘Iya, (lakukan apa yang engkau inginkan) panenlah buah kurma tersebut. Sesungguhnya engkau bisa bersedekah atau berbuat kebaikan dengannya.” (HR. Muslim no. 1483)
Ketiga, membuat kerajinan tangan atau pekerjaan rumah tangga, yang diistilahkan dengan home industry. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Zainab, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, sebagaimana dalam hadits yang telah kita lewati di rubrik kita kali ini.
Diriwayatkan pula oleh al-Imam Ahmad rahimahullah bahwa Raithah, istri ‘Abdullah bin Mas’ud, adalah wanita yang terampil. Dengan keterampilannya dia mampu memberi nafkah suami dan anak-anaknya.
Keempat, mengajar dan berfatwa. Inilah kesibukan para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam setelah wafatnya beliau. Yang paling terkenal dalam berfatwa adalah ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.
Inilah jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan oleh para sahabat wanita dan sebagian istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Semoga pembaca bisa mengambil teladan dari mereka dalam segala hal.
Perlu penulis tekankan kepada para muslimah, bahwa keteguhan para wanita pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, kepedulian mereka dalam beramal saleh, dan kesosialan serta kesabaran mereka itu membantu meringankan beban suami, yang mayoritas suami pada saat itu berjihad dan membantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam sepenuhnya dalam berdakwah dan memperjuangkan Islam.
Marilah kita renungkan dan bandingkan perbedaan antara para wanita sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dan kaum wanita pada zaman ini. Kita dapati sangat jauh perbedaannya. Jauhnya sifat dan perilaku inilah yang menyebabkan jauhnya keimanan kita dengan keimanan mereka.
Maka dari itu, siapa saja yang menginginkan kejayaan dan kemuliaan, hendaklah dia kembali kepada ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dengan pemahaman para sahabat dan betul-betul menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Baiklah, marilah kita simpulkan pembahasan kita ini menjadi beberapa poin.
Bolehnya wanita berkarier dengan batasan-batasan syariat sebagai berikut.
Tidak membuka aurat dalam pekerjaannya—tidak membuka cadar, jilbab, dan yang melebihinya—apabila di tempat pekerjaan tersebut dia bisa terlihat oleh kaum pria, seperti di ladang, dsb.
Tidak boleh berikhtilath (campur baur) ataupun berkhalwat dengan pria yang bukan mahram.
Diizinkan oleh Izin suami bisa berupa ucapan secara tegas dan jelas, bisa juga dengan keridhaan/persetujuan dan dukungannya terhadap perbuatan istri.
Dianjurkan untuk bersedekah dengan hasil pekerjaan kita.
Dianjurkannya para istri untuk membantu suami dalam pekerjaan-pekerjaan yang pada asalnya merupakan pekerjaan suami.
Keutamaan dan pahala bagi istri yang bisa mencukupi kebutuhan suami dan anaknya karena suami sibuk dengan amalan-amalan besar seperti berjihad, berdakwah, dan yang semisalnya.
Bersabar dalam menghadapi kesempitan hidup disertai dengan ketakwaan dalam berusaha mencari kehidupan yang lebih baik.
Inilah beberapa kesimpulan yang bisa penulis paparkan kepada pembaca sekalian. Kami berharap para pembaca bisa mengambil pelajaran penting selain yang telah kami simpulkan.
Semoga tulisan yang sederhana ini bermanfaat bagi penulis di dunia dan di akhirat, dan bermanfaat bagi pembaca sekalian yang kami muliakan.
Wallahu a’lam bish shawab.
__________
https://qonitah.com/karier-wanita-mesti-syari/
***********
0 komentar:
Posting Komentar