KAJIAN CARA ISYARAT JARI 👉🏻 KETIKA TASYAHHUD DALAM SHOLAT 📝 Bagian 2 dari 3 bagian

Posted On // Leave a Comment
(lanjutan) 📚KAJIAN CARA ISYARAT JARI 👉🏻 KETIKA TASYAHHUD DALAM SHOLAT 📝
Bagian 2 dari 3 bagian

****************
#fiqh_sholat
#isyarat_telunjuk
#hadits_syadz
****************

Dalil utama yang dipegangi oleh pihak yang menguatkan cara isyarat jari ketika tasyahhud dengan menggerakkan jari telunjuk adalah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dala Musnad beliau (4/318) anNasa'i dalam Sunan beliau no. Hadits 1268 (889) dan beberapa selain beliau berdua, dengan redaksi:

ﻋﻦ ﺯَﺍﺋِﺪَﺓ ﺑﻦ ﻗﺪﺍﻣﺔ ﺛﻨﺎ ﻋَﺎﺻﻢ ﺑْﻦُ ﻛُﻠَﻴْﺐٍ ﺃَﺧْﺒَﺮَﻧِﻲ ﺃَﺑِﻲ ﺃَﻥَّ ﻭَﺍﺋِﻞَ ﺑْﻦَ ﺣُﺠْﺮٍ ﺍﻟْﺤَﻀْﺮَﻣِﻲَّ ﺃﺧْﺒَﺮَﻩُ ﻗَﺎﻝ ": ﻗُﻠْﺖُ ﻟَﺄَﻧْﻈُﺮَﻥَّ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﻴْﻒَ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻨَﻈَﺮْﺕُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻗَﺎﻡَ ﻓَﻜَﺒَّﺮَ ﻭَﺭَﻓَﻊَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﺣَﺘَّﻰ ﺣَﺎﺫَﺗَﺎ ﺃُﺫُﻧَﻴْﻪِ ﺛُﻢَّ ﻭَﺿَﻊَ ﻳَﺪَﻩُ ﺍﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﻇَﻬْﺮِ ﻛَﻔِّﻪِ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَﻯ ﻭَﺍﻟﺮُّﺳْﻎِ ﻭَﺍﻟﺴَّﺎﻋِﺪِ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﻤَّﺎ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﺮْﻛَﻊَ ﺭَﻓَﻊَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻣِﺜْﻠَﻬَﺎ ﻭَﻭَﺿَﻊَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺭُﻛْﺒَﺘَﻴْﻪِ ﺛُﻢَّ ﺭَﻓَﻊَ ﺭَﺃْﺳَﻪُ ﻓَﺮَﻓَﻊَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻣِﺜْﻠَﻬَﺎ، ﺛُﻢَّ ﺳَﺠَﺪَ ﻓَﺠَﻌَﻞَ ﻛَﻔَّﻴْﻪِ ﺑِﺤِﺬَﺍﺀِ ﺃُﺫُﻧَﻴْﻪ، ﺛُﻢَّ ﻗَﻌَﺪَ ﻓَﺎﻓْﺘَﺮَﺵَ ﺭِﺟْﻠَﻪُ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَﻯ ﻓَﻮَﺿَﻊَ ﻛَﻔَّﻪُ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَﻯ ﻋَﻠَﻰ ﻓَﺨِﺬِﻩِ ﻭَﺭُﻛْﺒَﺘِﻪِ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَﻯ ﻭَﺟَﻌَﻞَ ﺣَﺪَّ ﻣِﺮْﻓَﻘِﻪِ ﺍﻟْﺄَﻳْﻤَﻦِ ﻋَﻠَﻰ ﻓَﺨِﺬِﻩِ ﺍﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﺛُﻢَّ ﻗَﺒَﺾَ ﺑَﻴْﻦَ ﺃَﺻَﺎﺑِﻌِﻪِ ﻓَﺤَﻠَّﻖَ ﺣَﻠْﻘَﺔً ﺛُﻢَّ ﺭَﻓَﻊَ ﺇِﺻْﺒَﻌَﻪُ ﻓَﺮَﺃَﻳْﺘُﻪُ ﻳُﺤَﺮِّﻛُﻬَﺎ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﺑِﻬَﺎ " ، ﺛُﻢَّ ﺟِﺌْﺖُ ﺑَﻌْﺪَ ﺫَﻟِﻚَ ﻓِﻲ ﺯَﻣَﺎﻥٍ ﻓِﻴﻪِ ﺑَﺮْﺩٌ ﻓَﺮَﺃَﻳْﺖُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺍﻟﺜِّﻴَﺎﺏُ ﺗُﺤَﺮَّﻙُ ﺃَﻳْﺪِﻳﻬِﻢْ ﻣِﻦْ ﺗَﺤْﺖِ ﺍﻟﺜِّﻴَﺎﺏِ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺒَﺮْﺩ "
"Dari Za-idah bin Qudamah telah menceritakan kepada kami 'Ashim bin Kulaib; telah mengabarkan kepadaku ayahku; bahwa Wa-il bin Hujr alHadhramiy telah mengabarkan kepadanya dengan perkataanya: Aku berkata (pada diriku) bahwa aku benar-benar kan memperhatikan dengan seksama bagaimana  Rasulullah shollallahu 'alaihi wasalam melaksanakan sholat, kemudian dia dia (Wa-il) berkata: Maka akupun memperhatikan beliau (shollallahu 'alaihi wasalam) berdiri lalu bertakbir sembari mengangkat kedua tangan beliau sampai sejajar dengan kedua telinga beliau, kemudian beliau letakkan telapak tangan kanan di atas punggung telapak – pergelangan tangan – dan sedikit di atasnya dari bagian tangan kiri beliau (shollallahu 'alaihi wasalam), kemudian dia (Wa-il) melanjutkan ucapannya: Selanjutnya tatkala hendak melakukan rukuk beliau (shollallahu 'alaihi wasalam) mengangkat tangannya (lagi) semisal itu, kemudian beliau letakkan kedua telapak tangan beliau pada kedua lutut beliau (shollallahu 'alaihi wasalam), kemudian beliau mengangkat kepala beliau (shollallahu 'alaihi wasalam) sembari mengangkat kedua tangannya semisal itu (lagi), lalu beliau bersujud dalam kondisi beliau posisikan kedua telapak tangan beliau sejajar dengan posisi kedua ujung telinga beliau (shollallahu 'alaihi wasalam), kemudian beliau duduk (dengan cara menduduki) telapak kaki kiri bagian dalam yang dihamparkan (iftirosy) seraya meletakkan telapak tangan beliau yang kiri di atas paha sekaligus lutut kiri beliau, dan dan meletakkan siku tangan kanan berada di atas paha kanan beliau. Kemudian beliau menggenggam jari jemari tangan kanan sehingga membentuk lingkaran lalu beliau mengangkat jari telunjuknya sampai aku melihat beliau MENGGERAKKANNYA seraya berdoa dengannya. Lalu aku datang kembali (pada kesempatan yang lain) setelah itu di musim dingin, maka aku memperhatikan para sahabat mengenakan pakaian (yang lengan bajunya terjulur) mereka menggerakkan (jari) tangan-tangan mereka dari balik pakaian mereka karena demikian dinginnya."
〰〰〰〰〰

Berikut beberapa hujjah ilmiyyah yang menguatkan pendapat tidak adanya tuntunan menggerakkan (baik ke atas-bawah ataupun ke kiri-kanan) jari telunjuk saat mengisyaratkannya pada waktu tasyahhud dalam sholat terangkum dari berbagai sumber (sebagian dari diskusi ilmiyyah di forum sahab ditambah rujukan kitab fiqh terkait):

A. Tidak diperoleh penyebutan redaksi "menggerakkan" ( ﺍﻟﺘﺤﺮيك ) pada hadits yang marfu' (disebutkan sanad sampai arRasul shollallahu 'alaihi wasallam)5) pada sanad 'ASHIM bin Kulaib alJurmiy dari ayahnya (Kulaib) dari Shahabat WA-IL BIN HUJR 6) radhiyallahu 'anhu' kecuali dari hadits ZAIDAH BIN QUDAMAH terkandung redaksi "MENGGERAKKANNYA, BERDOA DENGANNYA" (ﻳﺤﺮﻛﻬﺎ ، ﻳﺪﻋﻮ ﺑﻬﺎ ).7)
Dalam keadaan Syaikh Muqbil rahimahullah dalam "alJami' ashShahih" telah meneliti bahwa terdapat setidaknya14 perawi lain yang juga meriwayatkan hadits ini dalam sanad yang sama (dari 'ASHIM bin Kulaib alJurmiy dari Ayahnya dari Wail ibn Hujr juga), diantara mereka:
1. Bisyr bin alMufadhdhal (dalam Sunan Abu Dawud)
2. Sufyan ibnu 'Uyainah
3. Sufyan atsTsauriy (keduanya dalam Sunan anNasa-i)
4. Abdul Wahid bin Ziyad
5. Syu'bah (ibnul Hajjaj)
6. Zuhair bin Mu'awiyah
(ketiganya dalam Musnad Ahmad)
7. Abdullah Ibnu Idris (riwayat Ibnu Khuzaimah)
8. Khalid bin Abdullah athThohhan (riwayat alBaihaqiy)
9. Muhammad bin Fudhail (riwayat ibnu Khuzaimah)
10. Abul Ahwash Sallam bin Sulaim (riwayat athThoyalisi)
11. Abu 'Awanah
12. Ghailan bin Jami' (keduanya dalam riwayat alBaihaqiy)
13. Qois bin arRobi', serta
14. Musa bin abi Katsir (keduanya dalam "alKabir" oleh athThobaraniy); rahimahumullah8).

Dengan kedudukan setidaknya 4 perawi di atas (kedua Sufyan, Syu'bah ibnu Hajjaj, dan Zuhair bin Mu'awiyah) dinilai oleh ibnu Hajar dan adzDzahabiy dalam skala keterpercayaan (رتبة ثقات) yang lebih tinggi dari ZAIDAH bin Qudamah rahimahumullah. Sementara sisanya ada beberapa yang setara dengan tingkatan Zaidah bin Qudamah. Sedangkan dikenali dalam ilmu mustholah bahwa jika redaksi yang disebutkan seorang rawi menyelisihi perawi yang lebih tinggi derajat ketsiqohannya atau menyelisihi para perawi sederejat yang berjumlah lebih banyak (seperti kasus ini pula) maka riwayatnya dihukumi SYADZ (goncang) dan menjadi "penyakit" yang bisa menggugurkan keshahihan haditsnya walaupun secara asal dia adalah perawi yang terpercaya 9).

Sampai Syaikh Muqbil dinukilkan berkomentar tentang hadits ZAIDAH ini:
ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺷﺎﺫﺍ ﻓﻠﻴﺲ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺣﺪﻳﺚ ﺷﺎذ
"Jika hadits ini tidak dinilai sebagai hadits syadz, maka tidak akan ada (kategori) hadits syadz di dunia ini!"
(BughyatuthThalibilMubtadiy min Adillati Shifati SholatinNabiy).

B. Diperoleh adanya beberapa riwayat yang tidak sah dari Zaidah bin Qudamah yang menyelisihi redaksi "menggerakkan" walaupun yang dirajihkan dari Zaidah adalah lafadz "menggerakkan". Namun banyaknya riwayat yang berbeda bisa mengisyaratkan adanya kerancuan pada seluruhnya, sehingga sebagaian penulis membawa pada kemungkinan dari hal ini bahwa selain syadz Zaidah terjatuh dalam "wahm" (dugaan yang tidak tepat terbawa dalam statemen periwayatan), di mana hal tersebut sebagai jenis illat yang lain yang memperlemah riwayat. Wallahu a'lam

C. Teriwayatkan hadits-hadits dari para Sahabat Nabi lain yang dikenal lebih dekat (kedudukan dan waktu mulazamah) dengan beliau shollallahu 'alaihi wa sallam yang mencukupkan dengan lafdz "mengisyaratkan", "mengangkat" atau "menegakkan" dalam keadaan jika memang kenyataannya adalah digerakkannya telunjuk maka tentu sangat penting untuk ditegaskan dengan kata yang gamblang. Tetapi kita tidak mendapatkannya dari selain jalur riwayat yang berawal dari Zaidah bin Qudamah sampai ke Wail bin Hujr radhiyallahu 'anhu. Adapun riwayat alBaihaqiy rahimahullah yang mauquf dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma - dengan redaksi:
تحريك الأصبع في الصلاة مذعرة للشيطان
"Menggerakkan jari (telunjuk) dalam sholat akan membuat setan panik" - riwayat tersebut telah dilemahkan oleh para ahli hadits diantaranya alHafidz ibnu Hajar al'Asqolaniy rahimahullah, sehingga tidak bisa menjadi penguat riwayat yang terdapat redaksi "menggerakkan" yang disinyalir syadz dari Wail bin Hujr radhiyallahu 'anhu.

D. Jika kita mengindahkan kaidah ﺭَﺍﻭِﻱ ﺍﻟﺤَﺪِﻳﺚ ﺃَﺩْﺭَﻯ ﺑِﻤَﺮْﻭِﻳﻪ (seorang perawi hadits lebih paham tentang hal yang diriwayatkannya); coba kita perhatikan penjelasan salah satu penulis hadits yaitu alHumaidiy yang menulis hadits dari Sufyan atsTsauriy (lebih tsiqoh dari Zaidah) rahimahumullah, beliau (alHumaidiy) menafsirkan dengan: نَصْبُ ﺍﻟﺴَﺒَﺎﺑَﺔ (menegakkan jari telunjuk). Jelas pula jika digabungkan dari setidaknya 14 riwayat perawi tsiqoh lain (yang menyelisihi riwayat Zaidah) akan diperoleh kesesuaian dengan kaidah lainnya: ُﺍﻟﺮِﻭَﺍﻳﺎﺕُ ﻳُﻔَﺴِّﺮ ﺑَﻌْﻀُﻬَﺎ ﺑَﻌْﻀًﺎ (Riwayat-riwayat yang ada saling menafsirkan satu sama lain); bahwa isyarat itu dengan cara menegakkan/mengacungkan/mengangkat jari telunjuk (ke arah kiblat di saat jari yang lain tergenggam atau tidak tegak). Dan keterangan semacam ini akan buyar, atau menjadi tidak gamblang lagi saat diterima riwayat menggerakkan sebagai tafsir dari isyarat. Namun ini hanyalah kaidah pendukung, tentu yang asasi bergantung kepada kepastian hukum sah tidaknya riwayat tersebut.

E. Adanya beberapa ahli hadits terdahulu yang mengisyaratkan lemahnya riwayat Zaidah bin Qudamah tersebut. Di antaranya ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam "Shahih"nya10) setelah memasukkan riwayat Zaidah itu beliau bubuhkan komentar dengan menyatakan:
" ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻲ ﺷَﻲْﺀٍ ﻣِﻦَ ﺍﻷَﺧْﺒَﺎﺭِ " ﻳُﺤَﺮِّﻛُﻬَﺎ " ﺇِﻻَ ﻓِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﺨَﺒَﺮِ، ﺯَﺍﺋِﺪٌ ﺫِﻛْﺮُﻩُ "
"Tidak ada sama sekali dari berbagai khobar (riwayat)  yang menyebutkan "menggerakkan" kecuali dari khobar ini saja, berupa tambahan penyebutan." Dalam keadaan istilah tambahan penyebutan (ﺯﺍﺋﺪ ﺫﻛﺮﻩ) banyak dipakai ahli hadits dalam mengisyaratkan adanya penyakit (إلّة) pada suatu riwayat.

Demikian juga pengingkaran Abu Bakr ibnul 'Arabiy rahimahullah dalam " 'AridhatulAhwadziy" dengan pernyataanya:
 " ﻭَﻋَﺠﺒًﺎ ﻣِﻤَّﻦْ ﻳَﻘُﻮْﻝُ : ﺇِﻧَّﻬَﺎ ﻣُﻘَﻤِّﻌَﺔً ﻟَﻠﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﺇِﺫَﺍ ﺣُﺮِﻛ‌َﺖْ ، ﺍﻋْﻠَﻤُﻮﺍ ﺃَﻧَّﻜُﻢْ ﺇِﺫَﺍ ﺣَﺮَﻛْﺘُﻢْ ﻟِﻠﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﺃﺻْﺒَﻌًﺎ ﺣَﺮَّﻙَ ﻟَﻜُﻢْ ﻋَﺸْﺮًﺍ ، ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳُﻘَﻤِّﻊُ ﺍﻟﺸَﻴْﻄَﺎﻥَ ﺑِﺎْﻹِﺧْﻼَﺹِ , ﻭَﺍﻟْﺨُﺸُﻮﻉِ , ﻭَﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ , ﻭَﺍﻻِﺳْﺘِﻌَﺎﺫَﺓِ ، ﻓَﺄَﻣَﺎ ﺑِﺘَﺤْﺮِﻳْﻜِﻪِ ﻓَﻼَ ، ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻥْ ﻳَﺸِﻴْﺮَ ﺑِﺎﻟﺴَّﺒَﺎﺑَﺔِ ، ﻛَﻤَﺎ ﺟَﺎﺀَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚِ "...
"Sungguh aneh ucapan pihak yang mengatakan: (gerakan jari telunjuk) itu memadamkan (gangguan) setan saat digerakkan, ketahuilah jika kalian menggerakkan untuk (menghadapi) setan dengan menggerakkan 1 jari niscaya dia akan menggerakkan 10 jari menghadapi kalian. (Yang lebih benar) hanyalah setan itu dapat dipadamkan dengan keikhlasan, kekhusyu'an, dan dzikir, serta dengan isti'adzah, Adapun dengan (sekedar) menggerakkan (jari) itu tidak akan (bisa)! Hanyalah yang patut dilakukan olehnya adalah mengisyaratkan dengan jari telunjuknya sebagaimana disebutkan dalam hadits (tentang ini)..."

-----------------------

5). alHafidz ibnu Hajar al'Asqolaniy rahimahullah dalam "al Ishobah" pada nomor ke-9120 beliau menyebutkan:
Wa-il bin Hujr ibnu Rabi'ah bin Wa-il bin Ya'mur, dan disebutkan oleh yang lain sebagai ibnu Hajar bin Sa'ad bin bin Masruq bin Wa-il bin anNu'man bin Rabi'ah bin alHarits ibnu Sa'ad bin 'Auf bin 'Adiy bin Malik bin Syarahbil bin Malik bin Murroh bin Humair bin Zaid alHadhromiy. Ayahnya termasuk bangsawan Yaman, dan beliau diutus sebagai delegasi (dari negerinya) mengunjungi Nabi shollallahu 'alaihi wasallam, beliau meminta disediakan sebidang tanah maka Nabi shollallahu 'alaihi wasallam pun menyediakan sebidang tanah bagi beliau radhiyallahu 'anhu. Diutus bersama beliau Mu'awiyah untuk menyerah-terimakan beliau ke Kufah sebagaimana kisah antara kedua beliau yang cukup dikenal.

6). adapun riwayat yang dibawah itu (mauquf dan selainnya) didapatkan beberapa redaksi peniadaan gerakan secara tegas, seperti misalnya pada riwayat Abu Bakar ibnu Abi Syaibah rahimahullah dalam hadits no. 8437 & no. 29695:
ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮ ﺧَﺎﻟِﺪٍ ﺍﻷَﺣْﻤَﺮ ﻋَﻦ ﻫِﺸَﺎﻡ ﺑْﻦ ﻋُﺮْﻭَﺓ ﺃﻥَّ ﺃَﺑَﺎﻩُ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺸِﻴﺮُ ﺑِﺈِﺻْﺒَﻌِﻪِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀ، ﻭَﻻ ﻳُﺤَﺮِّﻛُﻬَﺎ
"Telah menceritakan kepadaku Abu Kholid alAhmar dari Hisyam bin 'Urwah bahwa Ayahnya dulu biasa memberikan isyarat dengan jarinya saat berdoa dan TIDAK MENGGERAKKANNYA."

7). semisal hadits no. 79 dalam "alMu'jamulKabir" karya athThobaroniy rahimahullah dari Qois bin arRabi' dari 'Ashim bin Kulaib alJurmiy dari ayahnya dari beliau radhiyallahu 'anhu dengan redaksi:
"...وأشار بالسبابة يدعو بها"
"Dan mengisyaratkan dengan jari telunjuknya, berdoa dengannya."

8). sebagian peneliti bahkan ada yang menyebutkan hingga 20-an jalan (tanpa penyebutan tawtsiq perawinya secara lengkap). Sisa perawi yang disebutkan peneliti lain di antaranya: 15. Musa bin abi 'Aisyah; 16. Muhammad bin Fudhail; 17. Khollad ashShoffar;18. 'Anbasah bin Sa'id; 19. Ghailan bin Jami'; 20. Musa bin abi Katsir

9). sebagaimana diperoleh faidah dari penjelasan Abu Abdillah alHakim anNaisaburiy rahimahullah dalam "Ma'rifatu 'UlumilHadits" (1/119):
ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﺸﺎﺫ ﻓﺈﻧﻪ : ﺣﺪﻳﺚٌ ﻳﺘﻔﺮّﺩُ ﺑﻪ ﺛﻘﺔٌ ﻣﻦ ﺍﻟﺜﻘﺎﺕ، ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻠﺤﺪﻳﺚ ﺃﺻﻞٌ ﻣﺘﺎﺑﻊٌ ﻟﺬﻟﻚ ﺍﻟﺜﻘﺔ . ﺳﻤﻌﺖ ﺃﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﻤﺘﻜﻠﻢ ﺍﻷﺷﻘﺮ ﻳﻘﻮﻝ ﺳﻤﻌﺖ ﺃﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﻳﻘﻮﻝ ﺳﻤﻌﺖ ﻳﻮﻧﺲ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻷﻋﻠﻰ ﻳﻘﻮﻝ ﻗﺎﻝ ﻟﻲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ : ‏« ﻟﻴﺲ ﺍﻟﺸﺎﺫ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﻥ ﻳﺮﻭﻱ ﺍﻟﺜﻘﺔ ﻣﺎ ﻻ ﻳﺮﻭﻳﻪ ﻏﻴﺮﻩ . ﻫﺬﺍ ﻟﻴﺲ ﺑﺸﺎﺫ . ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﺸﺎﺫ ﺃﻥ ﻳﺮﻭﻱ ﺍﻟﺜﻘﺔ ﺣﺪﻳﺜﺎً، ﻳﺨﺎﻟﻒ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ . ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺸﺎﺫ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ‏»
"Adapun yang dimaksud Syadz yaitu: Suatu hadits yang seorang perawi tsiqoh menyendiri (dalam periwayatannya) dari sekian perawi tsiqoh lainnya, sementara penyendirian riwayat hadits itu tidak memiliki asal penguat dari sang perawi tsiqah tersebut. Saya (pun) telah mendengar Abu Bakr Ahmad bin Muhammad alMutakallim alAsyqor berkata: Saya telah mendengar Abu Bakr Muhammad bin Ishaq telah berkata: Saya telah mendengar Yunus bin Abdil 'A'la telah berkata: (Imam) asySyafi'i telah berkata kepadaku: "Bukanlah disebut Syadz pada suatu hadits ketika seorang perawi meriwayatkan suatu yang tidak diriwayatkan perawi lainnya. Ini bukanlah syadz. HANYALAH YANG DISEBUT SYADZ ITU TATKALA SEORANG PERAWI MERIWAYATKAN SESUATU YANG MENYELISIHI (RIWAYAT) MANUSIA, INILAH YANG DIMAKSUD SYADZ PADA SUATU HADITS."

10). Shahih ibnu Khuzaimah tidak bisa disamakan dengan ashShahihain (alBukhariy dan Muslim) yang sangat ketat dalam penyaringan hadits serta pemuatan judul bab. Pada Shahih ibnu Khuzaimah masih dijumpai hadits atau judul bab yang tidak memenuhi syarat derajat shahih, sebagaimana beliau sendiri rahimahullah mengisyaratkan atau secara terang-terangan menyebutkan padanya. Sehingga walaupun dimuat dalam kitab "Shahih"nya, kita menilainya dari isyarat yang beliau sebutkan semisal kalimat penilaian dalam hadits ini, yang dipahami bahwa itu tidaklah sampai derajat sahih, wallahu a'lam. Demikian pula beliau dan beberapa ulama yang disebut menshahihkan riwayat Zaidah bin Qudamah seperti Imam anNawawiy dan alBaihaqiy rahimahumullah ternyata justru dalam kesimpulan akhirnya tidak berpendapat disyariatkannya menggerakkan jari telunjuk dalam tasyahhud. Wallahu a'lam.

(bersambung ke bagian ke-3 insyaAllah)

🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃

Dirangkum dari berbagai sumber oleh:
✏Abu Abdirrahman Sofian عفى الله عنه ولواديه وللمسلمين ... آمين
dipublikasikan melalui:
📡group WA alI'tishom | Kraksaan | 12 Rabi'ul Awwal 1437 H.

※※※※※※※※※※※※※※※※
🅾 MAJMU'AH AL ISTIFADAH 🅾
※※※※※※※※※※※※※※※※

Ⓜ مجموعة الاستفادة
🌍 http://bit.ly/tentangwalis
▶ Telegram http://bit.ly/alistifadah JOIN

0 komentar:

Posting Komentar