Syariat Islam yang dipahami dan diterapkan oleh para Sahabat Nabi membimbing kita untuk mengambil ilmu dari para Ulama’ yang telah jelas keilmuan dan kekokohan manhajnya. Seorang Ulama’ adalah orang berilmu yang telah ditazkiyah (direkomendasikan) oleh Ulama sebelumnya atau yang sejaman dengannya. Sesungguhnya ilmu Dien ini diwarisi dari Nabi shollallahu alaihi wasallam. Nabi menyampaikan kepada para Sahabat. Para Sahabat menyampaikan kepada para Tabi’in. Para Tabi’in menyampaikan ilmu kepada Atbaaut Tabi’in, dan seterusnya hingga sampai di masa kita saat ini.
Tazkiyah adalah pujian terhadap seseorang dan anjuran untuk mengambil ilmu dari orang tersebut. Pujian bahwa orang tersebut berilmu, berakidah dan manhaj yang lurus, atau sekedar ucapan “ambillah ilmu dari fulaan”. Itu adalah bagian dari tazkiyah. Tazkiyah juga memiliki kedekatan makna dengan ta’dil.
Mari kita lihat sejenak beberapa contoh mata rantai tazkiyah sejak masa Nabi shollallaahu alaihi wasallam hingga masa Tabi’in. Dari mata rantai ini kita bisa melihat bahwa seorang Ulama itu adalah yang mendapat tazkiyah dari Ulama lain sebelumnya. Nabi shollallahu alaihi wasallam telah mentazkiyah beberapa Sahabat untuk bisa diambil ilmunya, di antaranya :
...وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَل...
Yang paling berilmu dalam urusan halal dan haram pada umatku adalah Muadz bin Jabal (H.R Ibnu Hibban)
خُذُوا الْقُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَسَالِمٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ
Ambillah (ilmu) al-Quran dari 4 orang: Abdullah bin Mas’ud, Salim (maula Abi Hudzaifah), Muadz bin Jabal, dan Ubay bin Ka’ab (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Sebagian Sahabat Nabi ada yang mentazkiyah Sahabat Nabi yang lain.
Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud memuji Ibnu Abbas dengan perkataan:
نِعْمَ تُرْجُمَانِ الْقُرْآنِ ابْنُ عَبَّاسٍ
Sebaik-baik penterjemah (penafsir) al-Quran adalah Ibnu Abbas (riwayat al-Hakim, dinyatakan shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim oleh adz-Dzahabiy)
Berikutnya, adalah tazkiyah Sahabat Nabi kepada Tabi’in.
Sahabat Nabi Ibnu Abbas pernah memberikan tazkiyah kepada seorang Tabi’i Jabir bin Zaid (Abusy Sya’tsaa’):
لو نزل أهل البصرة بجابر بن زيد لأوسعهم علما من كتاب الله عز و جل
Jika diturunkan Jabir bin Zaid untuk Ahlul Bashrah, niscaya akan mencukupi mereka (penjelasan) ilmu terhadap apa yang ada dalam Kitabullah (diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliyaa’, dan Ya’qub bin Sufyan dalam al-Ma’rifah wat Taarikh dengan lafadz yang sedikit berbeda)
Demikian sebenarnya tazkiyah itu terus berlangsung dari generasi ke generasi hingga ke masa kita saat ini. Ulama’ Ahlussunnah yang ada masa ini adalah yang ditazkiyah oleh Ulama’-Ulama’ Ahlussunnah yang lebih dulu meninggal atau yang sejaman dengannya. Sebagai contoh, Syaikh Robi’ telah ditazkiyah oleh Ulama’-Ulama’ besar yang telah meninggal sebelumnya seperti Syaikh Bin Baz, Syaikh al-Albaniy, Syaikh Ibn Utsaimin, Syaikh Ahmad bin Yahya anNajmi, dan lain-lain. Syaikh Bin Baz telah ditazkiyah oleh Ulama’ sebelumnya lagi, demikian juga Syaikh al-Albaniy, hingga sampai kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Demikian tazkiyah dan mata rantai pengambilan ilmu itu tetap terjaga sebagai salah satu bentuk penjagaan Allah terhadap kemurnian Dien ini.
Tazkiyah atau ta’dil menjadi salah satu parameter penting untuk dijadikan acuan apakah seseorang bisa dijadikan rujukan sebagai Ulama’ untuk diambil ilmunya atau tidak. Selama tidak ada jarh (celaan, kritikan pedas) yang mu’tabar (bisa dijadikan acuan), maka tazkiyah dan ta’dil itu bisa menjadi pegangan.
Namun, dalam perkembangan, jika suatu ketika seorang Ulama’ itu (yang telah ditazkiyah Ulama sebelumnya) kemudian menyimpang dan telah di-jarh oleh Ulama’-Ulama’ Ahlussunnah yang mu’tabar setelah melalui proses penyampaian nasehat yang panjang tapi ia tetap menentang dan tidak mau tunduk pada dalil yang shorih (tegas), maka status dia akan berubah menjadi majruh dan tidak bisa diambil ilmunya. Inilah salah satu bentuk pemurnian Dien Islam yang tidak didapatkan pada agama-agama yang lain. Jika pada agama lain kesalahan pada pemuka agamanya yang fatal masih ditoleransi, kultus individu sangat dominan terjadi, tidak demikian dalam Islam.
Yang dijaga oleh Allah adalah kemurnian Dien ini, bukan keistiqomahan seorang individu yang masih hidup. Selama seseorang masih hidup, tidak ada jaminan ia akan lurus terus hingga akhir hayatnya. Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu menyatakan:
لاَ يُقَلِّدَنَّ أَحَدُكُمْ دِيْنَهُ رَجُلًا فَإِنْ آمَنَ آمَنَ وَإِنْ كَفَرَ كَفَرَ فَإِنْ كُنْتُمْ لَا بُدَّ مُقْتَدِيْنَ فَاقْتَدُوا بِالْمَيِّتِ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا يُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَة
Janganlah salah seorang dari kalian taklid (ikut-ikutan) dalam Dien terhadap seseorang. Jika orang itu beriman, dia beriman. Jika orang itu kafir, dia kafir. Kalau kalian harus mengikuti, ikutilah orang yang sudah meninggal, karena orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah (diriwayatkan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, dan alLaalikaai dalam Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah)
Kadangkala, seorang yang sebelumnya mendapat tazkiyah dari Ulama yang sudah meninggal dunia, dalam perjalanan waktu melakukan penyimpangan-penyimpangan manhaj. Ia kemudian di-jarh oleh Ulama yang sejaman dengannya dengan jarh yang mu’tabar. Maka status dia kemudian menjadi majruh. Contohnya adalah Yahya al-Hajuriy, Muhammad al-Imam, yang sebelumnya ditazkiyah oleh Syaikh Muqbil semasa hidupnya, namun kemudian melakukan penyimpangan-penyimpangan manhaj, sehingga ditahdzir dan di-jarh oleh para Ulama, maka mereka kemudian menjadi majruh. Demikian juga dengan Ali al-Halabiy, Saliem bin Ied al-Hilaliy yang sebelumnya dikenal luas identik sebagai murid Syaikh al-Albaniy, namun sepeninggal Syaikh al-Albaniy, banyak penyimpangan-penyimpangan Dien yang mereka lakukan, hingga status mereka pun berubah menjadi majruh. Hingga merekapun ditinggalkan, tidak layak diambil ilmunya.
Kita tidak boleh mengambil ilmu dari orang yang majruh dan majhul. Majruh adalah orang-orang yang di-jarh karena memiliki sifat-sifat yang buruk sehingga tidak boleh mengambil ilmu darinya seperti pendusta, berpemahaman kekufuran atau bid’ah, menyimpang dari manhaj Salaf, orang yang mengikuti hawa nafsu, orang yang tidak berilmu, dan semisalnya. Sedangkan majhul adalah orang-orang yang tidak dikenal secara jelas dari mana ia mengambil ilmu, siapa yang mentazkiyah (memuji dan merekomendasikan) dia, dan semisalnya.
Sejak masa para Sahabat Nabi, telah ada jarh terhadap orang-orang tertentu agar tidak diambil ilmu darinya. Kadangkala jarh tersebut terhadap pihak yang memiliki ciri-ciri pemahaman tertentu, kadang pula menunjuk person tertentu secara langsung. Sahabat Nabi Ibnu Umar berlepas diri dari pihak-pihak yang mengingkari takdir, meski mereka banyak membaca al-Quran dan dianggap berilmu. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam hadits riwayat Muslim dari Yahya bin Ya’mar.
Di masa Tabi’in, banyak jarh terhadap orang-orang yang menyimpang. Di antaranya ucapan al-Hasan al-Bashri rahimahullah yang menyatakan:
إِيَّاكُمْ وَمَعْبَدًا الْجُهَنِيَّ فَإِنَّهُ ضَالٌّ مُضِلٌّ
Hati-hati, jauhilah oleh kalian Ma’bad al-Juhaniy karena sesungguhnya dia orang yang sesat dan menyesatkan (riwayat atTirmidzi dalam Sunannya)
Di masa Atbaaut Tabi’in juga banyak terdapat jarh untuk memurnikan Dien ini. Para Ulama di masa itu memperingatkan penyimpangan dan kesesatan seseorang agar umat jangan mengambil ilmu darinya. Sebagai contoh, ucapan Abdullah bin al-Mubarok (Ibnul Mubarok) agar umat jangan mengambil ilmu hadits dari Amr bin Tsabit. Ibnul Mubarok menyatakan:
دَعُوْا حَدِيْثَ عَمْرو بْن ثَابِتٍ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَسُبُّ السَّلَفَ
Tinggalkanlah hadits (dari) ‘Amr bin Tsabit karena dia mencerca Salaf (Sahabat Nabi)(diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqoddimah Shahihnya)
<< Bersambung, InsyaAllah…>>
(Abu Utsman Kharisman)
💡💡📝📝💡💡
WA al-I'tishom
📲【••WALIS ⊙ WA Al-Istiqomah••】
✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧
💻 http://walis-net.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar