🌹Lanjutan Pembahasan Tentang Khulu'🌹
🔵Pembahasan Kedelapan: Tentang khulu’ tidak jatuh tanpa dijatuhkan oleh suami
Khulu’ hanya jatuh jika suami menjatuhkannya dengan mengucapkan lafadz khulu’ atau yang semakna dengannya. Tanpa dijatuhkan dengan lafadz, maka khulu’ tidak jatuh. Ini pendapat yang rajih. Contohnya seorang suami mengatakan: “saya mengkhulu’ kamu dengan tebusan itu”.
Ibnu Qudamah rahimahullah menegaskannya berdasarkan alasan berikut.
Khulu’ adalah tindakan terkait dengan kepentingan biologis, sehingga tidak sah tanpa dilafadzkan oleh suami, seperti halnya pernikahan dan talak.
Mengambil harta yang diberikan istri adalah semata menggenggam tebusan. Ini tidak berkedudukan mewakili jatuhnya khulu’.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu Abbas tentang permintaan khulu Istri Tsabit bin Qais. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Tsabit bin Qais: “Nabi shallallahu ‘alihi wasallam memerintahkan Tsabit untuk memisahkannya, maka dia pun memisahkannya.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lainnya dari Imam Bukhari dengan lafadz: “Terimalah kebun itu dan talaklah dia”
Riwayat-riwayat diatas menunjukkan bahwa lafadz suami menjatuhkan khulu’ adalah syarat jatuhnya khulu’. Wallahu a’lam. (majalah asy-Syariah, edisi tentang talak)
🔵Pembahasan Kesembilan: Tentang Hukum suami menanggapi permintaan khulu’ istri
Jika seeorang istri meminta khulu’ dengan alasan yang dibolehkan secara syar’i, tentang hal ini para ulama berbeda pendapat tentang hukum suami menanggapi permintaan khulu’ istri. Sebagaian ulama mengatakan hukumnya wajib berdasarkan yang nampak dari perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Tsabit bin Qais (hadits diatas –ed) dan ada yang berpendapat hukumnya tidak wajib, dengan alasan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Tsabit bin Qais adalah arahan semata.
Wallahu a’lam pendapat yang mengatakan wajib lebih kuat. Alasannya, inilah yang nampak dari perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Tsabit bin Qais. Disamping itu, kebersamaan wanita itu bersama suaminya akan bermudharat terhadapnya, sedangkan mencegah mudharat serta meniadakannya dari seorang muslimah wajib. Pendapat ini dirajihkan oleh al-Imam ash-Shan’ani dan Ibnu Utsaimin. Berdasarkan hal ini, hakim berwenang memaksa suami agar menerima khulu istrinya jika dia (suami) enggan.
Berkata asy-Syaikh Al-Allaamah Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh Rahimahullah: ”Dan pendapat yang lain: bolehnya (seorang hakim) mengharuskan seorang suami untuk menerima khulu’ dengan kondisi tidak memungkinkannya lagi untuk bersatu antara suami dan istri sesuai dengan ijtihadnya seorang hakim”. (Taudhihul ahkam min Buluughil Maraam Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Al-Bassam jilid: 5/474).
➡Insya Allah bersambung.
🔹WA PSSI (Perkumpulan Suami Sayang Istri)
Lanjutan Pembahasan Tentang Khulu
Labels:
nikah
0 komentar:
Posting Komentar