Ada kisah yang ana dapat dari seorang ustadz di Purbalingga membuat ana kagum dan mungkin bagi ikhwah salafiyyin juga barang kali, yaitu kejadian da'wah di wilayah Purbalingga Jawa Tengah.
Suatu hari seperti biasanya ikhwah mengadakan kajian rutin bersama seorang ustadz tiba-tiba kajian tersebut dibubarkan oleh beberapa preman (dalam keadaan mabuk) bersama masyarakat sekitar yang ternyata diprovokatori oleh kiyai dari luar kota. Mereka dalam jumlah yang banyak berkonvoi dengan menggunakan kendaraan motor dengan suara yang keras mereka menuntut dengan 9 poin tuntutan yang intinya agar kajian berhenti, tidak mendengungkan perkartaan syirik dan bid'ah.
Dengan menghubungi polisi setempat akhirnya polisi datang untuk melerai mereka. Dan ikhwah di situ pun menyatakan "Dengan mentaati Polisi sebagai wakil dari pemerintah kami akan menghentikan kajian rutin ini". Akhirnya berhentilah kajian (bukan dalam rangka takut kepada preman tapi dalam rangka taat kepada pemerintah).
Pada hari-hari berikutnya dengan kesombongan mereka berhasil menghentikan da'wah, pimpinan preman semakin menjadi-jadi kecongkakannya, ketika ada seorang akhwat lewat di hadapannya dikata-katai dengan kata-kata yang mengejek dan merendahkan. Ada seorang ikhwan yang melihat kejadian tersebut bergejolak juga rasa keinginan untuk membelanya akhirnya ikhwan tersebut menghampiri pimpinan preman tadi, ketika si ikhwan belum berkata ataupun bertindak apapun si preman tadi mengata-ngatai dengan penghinaan, perendahan bahkan ancaman pembunuhan, bahkan tidak hanya itu preman tadi menampar ikhwan tadi bak! buk!, dengan tidak melakukan perlawanan ikhwan segera menuju ke kantor polisi untuk melapor kejadian tersebut.
Tidak berapa lama Polisi segara melakukan tindakan menangkap pimpinan preman. Yang mana Polisi menjelaskan kepada si preman bahwa ini merupakan kasus yang sangat berat tidak hanya penghinaan, tidak hanya penamparan tapi lebih dari itu yaitu pelanggaran hak asasi manusia kebebasan untuk beragama. Hal ini tidak akan bisa diselesaikan kecuali dengan kekeluargaan dengan meminta maaf kepada ikhwan.
Ikhwan pun secara tersendiri diberi nasehat oleh Polisi agar apabila si preman minta maaf dan minta agar mencabut tuntuan, harus dengan syarat, yaitu syaratnya cabut juga 9 poin pelarangan da'wah dan bebas memperingatkan dari syirik dan bid'ah.
Preman menjadi sangat takut mendengar ancaman dari kasus yang menimpanya, apalagi ketika dia mendengar cerita kawan premannya yang pernah di penjara bahwa "kita diluar sebagai pemberani preman penguasa wilayah, tapi kalau di dalam penjara kita jadi bulan-bulanan penghuni penjara", akhirnya si preman semakin menjadi-jadi ketakutannya dia mendatangi ikhwah sambil menangis-nangis meminta maaf dan minta di cabut tuntutannya kepada Polisi.
Sesuai pesan Polisi ikhwan mengatakann kepada preman agar mencabut 9 poin, premanpun menyanggupi dengan mengatakan "ya saya akan datangi kiyai itu agar segera mencabut 9 poin tersebut kalau tidak kiyai itu akan berhadapan dengan saya". Akhirnya sang kiyaipun takut kepada preman dan mencabut 9 poin dengan menyebarkan pernyataan pencabutan ke khalayak masyarakat.
Da'wahpun kembali bebas dengan pertolongan Alloh subhanahu wata'ala.
Kiyai yang punya makar untuk menghentikan da'wah tauhid dan sunnah sedangkan Alloh memiliki kehendak tetap tegaknya da'wah tauhid dan ittiba'ssunnah. Wallohulmuwaffiq.
Abu Ukasyah, Qomaruddin.
WA. Alihsan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar