Senin, 02 November 2015

MEMPELAJARI HUKUM POSITIF DAN BEKERJA SEBAGAI PENGACARA

MEMPELAJARI HUKUM POSITIF DAN BEKERJA SEBAGAI PENGACARA

Pertanyaan Pertama dan Kedua dari Fatwa Nomor (3532):

Pertanyaan 1:
Kami telah disibukkan dengan beberapa perkara, diantaranya terkait mempelajari undang-undang di Fakultas Hukum. Beberapa teman berbeda pendapat dalam masalah ini. Saya memohon kepada Allah semoga Anda bisa memberikan penjelasan dalam beberapa permasalahan ini:
1 - Hukum mempelajari hukum positif (buatan manusia);
2 - Hukum bekerja sebagai pengacara (hakim)


Jawaban 1:

Jika orang yang ingin belajar hukum positif (buatan manusia) itu memiliki dasar pemikiran dan pengetahuan ilmiah yang kuat hingga dapat membedakan antara yang benar dan batil, memiliki benteng (pengetahuan) keislaman yang kokoh sehingga bisa menjaganya agar tidak menyeleweng dari kebenaran dan terjerumus dalam fitnah kebatilan. Juga berniat mempelajari hukum positif ini untuk perbandingan antara hukum Islam dan hukum positif, bisa menjelaskan keistimewaan hukum Islam dari hukum positif tersebut, dan menjelaskan bahwa hukum Islam lebih komprehensif dan berguna bagi agama dan kehidupan duniawi mereka dan sudah mencukupi (kebutuhan) mereka, bisa mempertegas yang benar dan mengalahkan yang batil. Juga mampu menolak argumen orang yang mengagungkan hukum positif hingga mengira bahwa ia lebih cocok, komprehensif dan mencukupi -- jika kondisinya seperti itu -- maka belajar hukum positif itu boleh. Dan jika tidak seperti itu, maka tidak boleh mempelajarinya, dan cukup baginya untuk mempelajari hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan riwayat shahih dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sebagaimana yang dijalani oleh ulama Islam terdahulu dalam mempelajari dan mengambil kesimpulan dari kedua sumber tersebut.

Kedua: Jika profesi sebagai pengacara atau hakim itu bisa mempertegas yang benar dan mengalahkan yang batil secara hukum, bisa mengembalikan hak-hak manusia pada tempatnya, dan bisa menolong orang yang terzalimi, maka profesi ini dianjurkan, karena di dalamnya terdapat sikap tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Akan tetapi jika sebaliknya, maka tidak diperbolehkan, karena di dalamnya terdapat sikap tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran. Allah Ta'ala berfirman:   Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa
Anggota Anggota Wakil Ketua Komite Ketua
Abdullah bin Qu'ud Abdullah bin Ghadyan Abdurrazzaq `Afifi Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?languagename=id&View=Page&PageID=463&PageNo=1&BookID=3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar