Hukum Syariat MLM (Multi Level Marketing)

Posted On // Leave a Comment

Hukum Syariat MLM (Multi Level Marketing)

Manusia adalah makhluk sosial yang hidup dengan orang lain. Bersama orang lain, terwujudlah saling memenuhi dan melengkapi hajat hidup mereka. Bekerja sama, tukar menukar, saling membutuhkan adalah sebagian kecil hikmah diciptakannya manusia dalam status yang bertingkat-tingkat. Ada yang miskin, ada yang kaya, kuat, lemah, pemimpin, dan rakyat biasa. Hubungan antar manusia pun bisa seimbang. Mereka bisa saling melengkapi satu dengan yang lain.
Dengan hikmah-Nya pula Allah l menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka, syariah yang kaffah ini pun mengatur kaidah-kaidah dalam muamalah jual beli. Sehingga manusia bisa bermuamalah dalam asas saling menguntungkan.
Pada dasarnya, bisnis dalam Islam termasuk muamalat yang hukum asalnya adalah boleh. Dalam kaidah fikih disebutkan, ‘Al-Ashlu fil ‘adah Al-ibahah hatta yadullad dalilu ‘ala tahrimiha.’ Maksudnya, asal hukum dalam adat (termasuk muamalah) adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya.
Berdasarkan kaidah fikih ini, perkembangan sistem dan budaya bisnis yang begitu cepat, bukanlah hal yang terlarang. Selama hal ini tidak mengabaikan prinsip dan kaidah syariah. Yaitu harus terbebas dari unsur dharar (memudarati atau menzalimi), jahalah (ketidakjelasan), maysir (judi atau untung-untungan), gharar (penipuan), haram, dan riba (bunga). Intinya, barang yang diperjualbelikan harus halal, dan caranya pun halal.
Di antara sistem bisnis yang berkembang cukup marak belakangan ini adalah MLM. MLM singkatan dari Multi Level Marketing yang bisa dibahasakan dengan sistem pemasaran berjaring (Network Marketing). Karena begitu banyak perusahaan yang bergerak dalam bidang ini, persaingan pun tidak dapat dihindari. Masing-masing menawarkan dan menjanjikan fasilitas serta bonus yang menggiurkan kepada konsumen yang sekaligus calon anggota (member). Tidak jarang pula di antara perusahaan ini yang memakai nama islami. Sehingga kaum muslimin banyak yang tersangkut dalam jaringan bisnis piramida ini.
Lalu, bagaimanakah tinjauan sisi syariah tentang bisnis model MLM ini? Sebelum membahas lebih jauh, perlu disinggung bahwa secara sederhana, sistem pemasaran suatu produk dari suatu perusahaan ada dua cara: Yang pertama cara konvensional, sebagaimana yang biasa berlaku. Yaitu sampainya suatu produk kepada konsumen setelah melalui setidaknya 4 (empat) tahap; dari pabrik kepada distributor, kemudian kepada agen, lalu kepada grosir, setelahnya kepada pengecer atau toko, baru kepada konsumen.
Yang kedua melalui sistem pemasaran berjaring (Network Marketing) atau kita kenal dengan MLM (Multy Level Marketing). Inilah pembahasan kita. Di sistem ini seorang konsumen harus mampu merekrut konsumen (jaringan) di bawahnya (downline, yaitu jaringan kedua dan seterusnya). Dan ia (upline) akan menerima keuntungan (persentase) dari setiap pembelanjaan downline tersebut. Semakin banyak jaringan (downline), maka semakin besar pula keuntungan yang akan diterima. Bila mampu mencapai titik tertentu sesuai persyaratan, ia akan menduduki suatu posisi dan akan menerima bonus yang telah ditentukan.
Hukum muamalah seperti sistem ini telah diterangkan oleh komite fatwa ulama Saudi. Banyak pertanyaan yang masuk kepada Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhutsil Ilmiah Wal Ifta’ seputar bisnis MLM (At Taswiq Al Haramiy atau At Taswiq Asy Syabakiy), seperti perusahaan MLM Baznas dan Hibatul Jazirah. Sistem penjualan perusahaan tersebut secara garis besar; seseorang yang membeli barang atau sebuah produk dipersyaratkan menjual produk tersebut kepada orang lain (downline). Kemudian masing-masing downline tersebut menawarkan kepada orang lain pula (membuat jaringan downline). Begitu seterusnya. Semakin banyak jaringan, upline (orang yang di atas) akan semakin meraup ribuan real (banyak mendapat keuntungan). Masing-masing anggota (member) mendapatkan keuntungan sesuai jaringan di bawahnya. Jumlah uang besar akan didapat apabila berhasil membuat jaringan yang besar. Ini dinamakan At Taswiq Al Haramiy (penjualan berjaring sistem paramida) atau At Taswiq Asy Syabakiy (penjualan berjaring sistem jaringan).
Alhamdulillah, Al Lajnah menjawab soal di atas dengan jawaban berikut: Jenis muamalah ini hukumnya haram. Alasannya, karena tujuan sistem ini adalah uang semata (dari downline), bukan barang yang diperjualbelikan. Nilai keuntungan bisa mencapai angka yang fantastis (puluhan ribu real) padahal harga barang itu sendiri tidak lebih dari beberapa ratus real. Siapa saja, apabila ditawarkan antara dua hal ini; barang atau keuntungannya, pasti akan memilih keuntungan yang puluhan ribu real tersebut (tidak peduli dengan barangnya). Oleh sebab itu, sistem ini bertopang pada jaringan piramidanya. Dan promosi yang ditawarkan kepada calon member adalah keuntungan besar dengan keberhasilan membangun jaringan downline yang besar, keuntungan fantastis dari modal kecil (sebesar nilai produk saja). Barang yang dijualbelikan pun sekadar kedok atau alat untuk mendapat tumpukan rupiah dan keuntungan (barang tersebut tidak dibutuhkan oleh pembeli). Dari kenyataan sesungguhnya sistem muamalah ini, maka hukumnya haram secara syariah dari beberapa sisi:
Pertama, sistem ini mengandung dua jenis riba sekaligus; riba fadhl dan nasi’ah. (Dalam konteks sistem piramida ini, riba fadhl bisa kita definisikan sebagai; membeli uang dalam nominal besar dengan uang bernilai kecil. Adapun nasiah adalah membeli uang dengan uang tidak dengan kontan. Padahal, jual beli uang dengan uang pada mata uang yang sama disyaratkan harus saling kontan dan benilai sama. Kalau tidak terpenuhi dua syarat ini maka dihukumi riba, red). Dalam sistem ini, member membayar sejumlah kecil uang untuk mendapatkan uang nominal yang besar. Artinya membeli uang dengan uang dengan selisih nilai dan waktu. Inilah riba yang haram sesuai nash dalil dan ijma’ ulama. Adapun produk yang dijual tidak lebih sebagai kedok saja. Barang tersebut tidak dimaukan oleh anggota, sehingga tidak memengaruhi hukum.
Kedua, sistem ini termasuk gharar (ketidakpastian) yang haram menurut syariah. Karena member tidak tahu apakah berhasil membuat jaringan yang diinginkan atau tidak. Sedangkan MLM ini, bagaimanapun besar jaringan downline-nya, pasti ada ujungnya juga. Member tersebut tidak tahu apakah saat bergabungnya ia dalam sistem piramida ini akan mendapat downline yang besar sehingga akan beruntung, atau justru di tingkat terbawah sehingga rugi. Padahal pada kenyataannya, mayoritas member piramida ini rugi kecuali jumlah sedikit pada tingkat upline. Sehingga sebagian besarnya mengalami kerugian. Ini adalah hakikat penipuan, yang berkisar antara dua kemungkinan. Dan kemungkinan terbesarnya adalah kerugian. Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang dari gharar sebagaimana riwayat Muslim dalam Shahihnya.
Ketiga, dalam sistem ini, (disadari atau tidak) mengandung unsur makan harta orang lain dengan cara yang batil. Di mana, tidak ada yang mendapat manfaat dari akad semacam ini kecuali perusahaan saja. Dan setiap anggota yang mau membeli produk ini pun tujuannya adalah menipu anggota yang lain. Inilah yang tegas Allah subhanahu wa ta’ala larang dalam firman-Nya yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta orang lain di antara kalian dengan cara yang batil.” [Q.S. An Nisa:29].
Empat, dalam muamalah ini terdapat penipuan, kecurangan, dan pengaburan hakikat sesuatu kepada orang lain. Menampakkan seolah-olah menjual produk tertentu. Inilah yang dikesankan sebagai tujuan sistem ini. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu (namun sebaliknya). Sisi yang lain, penggambaran keuntungan berlipat yang seringnya tidak terwujud. Inilah penipuan yang haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Siapa yang menipu, bukanlah dariku.” [H.R. Muslim dalam Shahihnya]. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda yang artinya, “Dua yang terlibat jual beli masing-masing memiliki hak memilih (melanjutkan transaksi ataukah tidak) selama belum berpisah. Apabila jujur dan menjelaskan aib barangnya, maka akan diberkahi dalam jual beli tersebut. Namun, apabila masing-masing dusta dan menyembunyikan aib barangnya, akan dihapus berkah dari keduanya.” [Muttafaqun’alaihi].
Adapun yang beralasan bahwa muamalah ini termasuk jasa marketing yang bertindak sebagai perantara antara produsen dan konsumen (samsarah atau makelar), maka hal ini tidak benar. Karena makelar adalah akad yang terjadi dengan pihak yang memperantarai terjadinya jual beli dengan imbalan tertentu. Adapun MLM, member yang membayar untuk pemasaran suatu produk. Sebagaimana makelar maksudnya adalah penjualan barang, sementara MLM maksudnya adalah pembelian uang, bukan barangnya. Makanya MLM hanya menjual kepada orang yang akan menjual kepada orang yang akan menjualnya, dan seterusnya. Berbeda dengan makelar yang menjual kepada orang yang benar-benar membutuhkan barang tersebut. Perbedaan antara keduanya sangat jelas.
Yang lain lagi menamakannya dengan hadiah. Ini pun tidak tepat. Seandainya dianggap sebagai hadiah, tidaklah semua hadiah itu boleh (halal) menurut syariah. Hadiah yang diberikan karena sebab telah meminjami uang dianggap sebagai riba (haram). Oleh sebab itulah Abdullah bin Salam z berkata kepada Abu Burdah radhiyallahu ‘anhu, “Engkau berada di daerah yang riba tersebar luas. Apabila engkau memiliki hak yang harus ditunaikan oleh orang lain kepadamu (piutang), kemudian orang tersebut memberikan hadiah satu ikat pakan hewan, atau gandum, atau makanan pokok, maka itu adalah riba.”[H.R. Al Bukhari dalam Kitab Shahih beliau]. Sehingga hadiah itu mengambil hukum sebab adanya hadiah tersebut. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Tidakkah engkau duduk saja di rumah ayah atau ibumu, engkau tunggu apakah engkau akan mendapat hadiah atau tidak?”[Muttafaqun’alaihi]. Sedangkan hasil uang tersebut (yang dinamakan hadiah) didapat karena ikut dalam jaringan MLM. Maka nama apa pun yang dipakai, hadiah atau hibah, atau yang lainnya tidaklah mengubah hakikat dan hukumnya sedikit pun.
Yang pantas disebutkan di sini pula, bahwa di sana ada beberapa perusahaan yang memakai sistem MLM ini. Seperti perusahaan Smarts Way, Gold Quest, dan Seven Diamond. Hukumnya sama persis dengan perusahaan MLM sebelumnya, walaupun produk yang dijual berbeda. Wa billahit taufik wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
[Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhutsi Al ‘Ilmiyati Wal Ifta’ No 22935 Tanggal 14/3/1425 H]. Demikian nukilan dari kamite tetap bidang riset ilmiyah dan fatwa Islam Kerajaan Saudi Arabia.
Ada jenis MLM lain yang dipraktikkan dalam dunia bisnis. Yaitu MLM yang tidak menjual produk. Jenis ini biasa disebut money game atau permainan uang. Contoh: Pihak MLM menawarkan sebuah sepeda motor merk tertentu hanya dengan menyetor uang Rp. 2.000.000,- dengan syarat harus bisa menjaring sebanyak sepuluh orang yang masing-masing harus menyetorkan uang sebesar Rp. 2.000.000,- pula. Bila tidak, maka uang tersebut hangus.
Demikian pula untuk tingkat downline-nya, masing-masing akan mendapatkan sepeda motor tersebut dengan menjaring sepuluh orang. Demikian seterusnya sampai tidak terbatas. Hukum jenis MLM ini haram, karena jelas ada unsur memudarati atau menzalimi, jahalah (ketidakjelasan), maysir (judi atau untung-untungan), serta gharar (penipuan). Istilah jual beli dalam sistem ini sekadar polesan saja. Pada hakikatnya adalah memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Bentuk money game yang lain ditawarkan sebagai bentuk investasi. Calon anggota ditawarkan menanam modal usaha misalnya Rp 1.200.000. Bagi hasil dan bonus akan semakin besar dengan jaringan downline yang besar. Yang sesungguhnya, uang bagi hasil dan bonus itu diambil dari uang downline. Sementara usaha yang dijalankan adalah kamuflase semata. Atau tepatnya perangkap untuk menjebak calon member. Lebih parah dari ini semua, fenomena yang sangat memprihatinkan belum lama ini adalah munculnya selebaran yang dinisbatkan kepada seorang ‘Ustadz sedekah’ menggunakan sistem ini atas nama keajaiban sedekah untuk menjadi kaya mendadak bagi siapa saja yang menjadi anggota. Innalillahi wainna ilaihi raji’un.
Pembaca, prinsip muamalah Islami adalah yang berorientasi kepada kemaslahatan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat. Orientasi ini menjadi pertimbangan mendasar bagi setiap muamalah yang terjadi. Untuk itulah kaidah syariah begitu ketat menetapkan ketentuannya. Maka kaum muslimin hendaknya mempertimbangkan kaidah-kaidah tersebut dalam kegiatan ekonominya agar diberkahi di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bish shawab.
[Ustadz Farhan].

0 komentar:

Posting Komentar